"Kembali ke Kalimantan tidak mungkin. Kembali pulang ke rumah juga tidak mungkin," kata ibu dua anak asal Desa Pare, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, itu, Minggu (24/1/2016).
Jika pulang ke desanya, dia mengaku khawatir ditolak karena dia tahu masyarakat masih berpersepsi negatif soal Gafatar akibat pemberitaan media yang begitu hebat akhir-akhir ini.
Lagi pula, dia juga belum tentu diterima oleh anak keduanya yang sejak semula tidak setuju jika dia bergabung dengan Gafatar. Bahkan, dia mengaku sempat bertengkar dan diusir oleh anaknya itu karena memaksa ikut Gafatar.
(Baca: Franz Magnis: Negara Memperlakukan Gafatar dengan Buruk)
"Menurut anak saya, ada yang tidak beres dengan ajaran Gafatar, tetapi menurut saya baik," ujarnya.
Katumi berangkat ke Kalimantan pada Oktober 2015 lalu. Dia mengajak anak bungsunya yang baru lulus dari SMP, Imam Sapta Maulana. Anak pertama Katumi sebenarnya juga ikut bersama istri dan anaknya, tetapi mereka berada di kelompok yang berbeda saat pindah ke Kalimantan.
Wanita bertubuh tambun itu bergabung dengan Gafatar sejak 2011 dan aktif di berbagai kegiatan sosialnya di Kediri. Bahkan, dia dipercaya sebagai tutor kegiatan sosial bidang kesehatan dan donor darah.
(Baca: Bupati Mempawah Menangis Saksikan Permukiman Eks Gafatar Dibakar)
Katumi sendiri mengaku tidak ada yang salah dengan bergabungnya dia dengan Gafatar. Dia mengaku merasakan ketenangan jiwa saat bergabung dengan Gafatar.
Dia bahkan bisa mengembangkan keahliannya di bidang kesehatan dan teknologi informasi sejak bergabung dengan Gafatar. Katumi merasa sedih karena dia dipaksa pindah saat dia belum mampu menikmati hasil pertaniannya di Kalimantan.
"Bawang merah yang saya tanam sudah sebesar jempol, mungkin hari ini sudah bisa dipanen," kata dia.