BANDA ACEH, KOMPAS.com - Moehammaddyah Husen (58) alias Cek Medya Hus merupakan seniman tutur asal Aceh.
Dia hidup sebagai pewaris seni dari ayahnya yang merupakan syeikh seudati yang terkenal di Aceh Jaya pada masanya.
Baca juga: Panggung Teater sebagai Jalan Hidup
“Saya menjadi seniman karena turun dari ayah yang merupakan syeikh seudati, sehingga sejak kecil saya tahun 1983, sudah belajar untuk berani tampil di setiap kegiatan atau hajatan, baik di sekolah maupun di kampung,” kata Cek Medya Hus kepada Kompas.com saat ditemui di salah satu warung kopi di Banda Aceh, Rabu (26/6/2024).
Baca juga: Menanam Mimpi di Panggung Teater
Cek Medya Hus sejak duduk di bangku sekolah Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) sudah sering tampil, baik melantunkan syair Aceh atau bershalawat mengisi acara kawaninan dan maulid.
Pria kelahiran Mon Mata, Kabupaten Aceh Jaya, 10 Agustus 1964, ini juga telah mendirikan sanggar “Rencong Pusaka” pada tahun 1990. Saat itu dia masih remaja.
Namun, karena kondisi Aceh pada masa itu berkonflik, para seniman dilarang menggunakan kata dari senjata.
“Karena dilarang nama Rencong Pusaka, lalu saya ganti nama sanggar menjadi Seung Samlakoe, yang artinya tempat laki laki berseni," ujarnya.
Cek Medya Hus menghadapi banyak tantangan selama puluhan tahun menjadi seniman. Namun, dia berusaha berkompromi dengan hal itu.
Dia telah menerbitkan buku saku yang berisi syair, pantun, dan hikayat.
Dia juga memanfaatkan media sosial untuk eksis dan bertahan menjadi seniman tradisi seumapa.
“Banyak tantangan menjadi seniman, tapi kita harus selalu melihat celah atau peluang agar tetap bisa berkarya dan menghasilkan. Dulu sekitar tahun 2000, saya terbitkan buku saku yang berisi syair, hikayat, dan pantun, lalu saat buku sudah tidak laku, saya terbitkan rekaman kaset," ujar dia.
"Setelah itu, saat kaset mulai ditinggalkan, saya keluarkan lagi dalam bentuk VCD, nada dering HP, dan saat ini saya meng-upload karya di YouTube dan medsos dengan penghasilan mulai dari Rp 3 juta hingga Rp 25 juta setiap dua bulan, ” jelasnya.
Dengan cara itu, kebutuhan keluarganya bisa tercukup.
Namun, Medya Hus mengatakan, tak semua penampilan dan karyanya diukur dengan materi. Dia bersedia untuk tampil walaupun tidak dibayar.
“Saya selalu saja mengikuti dan mengisi kegiatan seni tradisi, kalaupun tidak ada bayaran. Termasuk kalau ada orang minta untuk isi acara adat pada kawainan dengan bayaran cuma- cuma, juga tidak pernah saya tolak. Kalau dengan pemerintah atau NGO, pasti ada standar tarif untuk mengisi kegiatan, saya mengikuti saja,” sebutnya.
Selain sering tampil mengisi acara, Cek Medya Hus sejak beberapa tahun terakhir juga aktif sebagai dosen dan praktisi di Kampus ISBI Aceh.
Cek Medya selama ini juga bekerja sama dengan pemerintah dan pihak swasta dalam mengedukasi dan menyosialisasi seni tutur.
Namun, dia menilai peran pemerintah terhadap seniman di Aceh sangat terbatas karena anggaran dan program untuk kegiatan seni hanya ada di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tingkat provinsi.
Sementara, di kabupaten kota hanya pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
“Dukungan dari pemerintah ada, bukan tidak ada, tapi sangat terbatas. Apalagi kadang program menggunakan dana pokir itu siapa yang dekat dengan penguasa dia yang dapat, sehingga tidak merata,” ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.