BANDA ACEH, KOMPAS.com- Adek Hanafi (60) mulai berkarier sebagai seniman pertunjukan sejak dia masih duduk di kelas 1 SMA di tahun 1981.
Almarhum ayahnya, Abdullatif, merupakan syeikh tarian seudati Aceh yang terkenal.
“Saya jadi seniman mungkin karena keturunan ya, ayah saya dulu syeikh seudati, tapi kami dari lima bersaudara hanya saya sendiri yang jadi seniman,” kata pria yang memiliki nama panggung Adek Alaika kepada Kompas.com saat ditemui di kantin Taman Budaya di Banda Aceh, Senin (24/6/2024).
Baca juga: Menanam Mimpi di Panggung Teater
Adek masih ingat betul penampilan perdananya saat masih SMA.
Baca juga: Panggung Teater sebagai Jalan Hidup
Dia terpilih untuk tampil bersama tim Federasi Teater Banda Aceh (FTB) mewakili Aceh pada acara kemah seniman se-Sumatera di Padang, Sumatera Barat.
“Saat tampil di Padang itu, peran saya sebagai staf menteri, karena waktu itu garapannya cerita tentang pengadilan putra mahkota, anak sultan yang dipancung karena dituduh berzina,” kenang Adek.
Setelah itu, Adek yang tergabung dalam teater Arenba, dikontrak oleh depertamen penerangan untuk tampil selama delapan kali program masuk desa.
Namun, setelah tampil, mereka hanya mendapat traktir sepiring mi dan kopi dingin saja.
“Dulu ada namanya depertemen penerangan yang sering bawa kami tampil pada kegiatan perintah. Kami tidak pernah tanya dan diberitahu honor berapa. Paling setelah tampil kami ditraktir makan dan minum. Sesekali kalau dikasi amplop isinya Rp 5.000 atau Rp 10.000, tapi kami puas dan merasa bangga setelah sukses tampil, itu ceritanya bisa berhari hari,“ jelasnya.
Setelah tampil di empat desa mengikuti program depertemen penerangan , Adek yang baru saja tamat SMA sekitar tahun 1984, kemudian memutuskan untuk hijrah ke Jakarta untuk mengembangkan bakat seni peran yang dia tekuni.
“Karena saya lihat kondisi di sini kurang dihargai untuk pelaku seni. Saya hijrah ke Jakarta untuk mengembangkan bakat saya sebagai aktor,“ ucapnya.
Selama di Jakarta, Adek tinggal di Gedung Pramuka di kawasan Kuningan.
Sejak saat itu, dia mulai sering bertemu dengan para seniman peran, sutradara, produser sinetron, dan film nasional.
Selama di Jakarta, pengalaman yang paling berkesan saat dia mengikuti lomba akting pada acara ulang tahun Persatuan Artis Film Indonesia pada tahun 1987.
Saat itu dia terpilih menjadi juara satu sebagai aktor terbaik.
“Itu paling berkesan dalam hidup saya. Dengan serba keterbatasan saya sebagai anak kampung, alhamdulillah terpilih sebagai aktor terbaik. Padahal pesertanya itu banyak asuhan seniman nasional dari tim dan IKJ,” kenangnya.
Saat mengikuti lomba pada acara ulang tahun Persatuan Artis Film Indonesia itu, Adek hanya latihan singkat selama tiga hari bersama Lilis, pasangan perannya, yang baru dia kenal saat tampil di hadapan dewan juri, di antaranya Sopan Sopian dan Kusumo Priyono.
“Saya bersama Lilis tampil dari naskah cuplikan film beri aku waktu, dialognya seperti ini: 'Kalau saja saat itu kau sabar dan mengerti dan kuperlihatkan sedikit saja rasa cintamu terhadap ku, aku yang jelek ini akan membela mu, tapi kau menganggap aku tidak beda dengan galat hanya tempat gantung pakaian kalau kau perlu, kau tega mengambil lelaki jahanam itu didepan ku;”, ujarnya.
Adek akhirnya ikut bergabung dengan sanggar Betawi dan main dalam sinetron Mirah dari Marunda yang tayang di TVRI setelah garapan yang direncanakan Persatuan Artis Film Indonesia tak kunjung direalisasi.
Dia juga berkesempatan memerangkan Sipitung dan menjadi tokoh utama.
Adek juga mendapat kesempatan bermain di film Rhoma Irama, walaupun hanya tampak sekilas dalam adegan berkelahi.
"Setelah shooting, saya minta abang saya di kampung untuk ganti TV hitam putih dengan TV warna agar saat tayang ibu saya bisa menonton saya,“ ujarnya.
Ibunda Adek yang menderita alzheimer, tak mengenal anaknya saat muncul di sinetron yang tayang di TVRI .
“Kata abang saya, 'Percuma, ibu tidak mengenal mu. Memang banyak orang lain yang datang ke rumah mengucapkan selamat dan bangga karena kamu tayang di sinetron. Lebih baik kamu pulang saja merawat ibu',” kata Adek menirukan ucapan abangnya.
Setelah kembali ke Aceh, Adek sempat meninggalkan dunia seni peran lantaran harus merawat ibunya.
Kemudian, sekitar tahun 2000, dia kembali aktif menjadi aktor film yang diproduksi oleh beberapa rumah produksi yang ada di Banda Aceh, untuk konten edukasi dan kearifan lokal.
Adek sadar menjadi seniman pertunjukan di Aceh memang tidak menjanjikan secara materi. Namun, dia puas karena telah menemukan jati diri.
"Bicara materi memang sejak saya muda tidak ada, apalagi untuk menghidupi keluarga, tapi alhamdulillah selalu ada jalan selama ini. Kalau sekarang memang sudah lama menganggur, mungkin faktor usia juga. Anak saya dua orang, yang pertama perempuan sudah berkeluarga, dia sekarang yang membantu biaya, adiknya satu lagi masih kuliah, sebutnya.
Sementara, Ampon Nazar, seniman Debus Etnik Aceh, menilai, Pemerintah Provinsi Aceh sejak beberapa tahun terakhir ini tidak memiliki program yang mendukung para seniman untuk berkarya.
“Tidak ada perhatian pemerintah terhadap seniman. Malah sekarang setiap kegiatan yang melibatkan seniman melalui EO (event organizer), sehingga anggaran untuk seniman dipangkas hingga 50 persen. Contoh, kalau kegiatan swakelola honor sekali tampil debus saya kalau sendiri Rp 5 juta, tapi kalau EO yang kelola hanya dibayar Rp 2 juta,” katanya.
Ampon mengatakan, selama ini memang seniman di Banda Aceh mendapat ruang dan fasilitas di UPD Taman Budaya sebagai tempat latihan dan berkumpulnya para seniman.
Namun, Dewan Kesenian Aceh saat ini vakum.
"Ketuanya siapa dan di mana kami tidak tahu,” ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.