Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bukan karena Ganja, Takaran Rempah yang Tepat Jadi Kunci Masakan Aceh yang Nikmat

Kompas.com - 29/05/2024, 06:06 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Ganja telah hadir selama ratusan tahun dalam khazanah tradisi dan kuliner masyarakat Aceh. Namun, aturan hukum yang menggolongkan ganja sebagai narkotika telah membelenggu ruang penggunaannya di Indonesia. Padahal sejumlah negara mulai mengizinkannya. Bagaimana sejarah ganja dalam hidangan tradisional Aceh? BBC News Indonesia mewawancarai dengan beberapa pihak untuk menggali dari beragam perspektif.

Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Aceh mengeluarkan program pengawasan dan pengujian terhadap makanan-makanan di Aceh yang dicurigai menggunakan ganja dalam proses pengelolaannya.

Kabar itu sampai ke telinga Iswadi, pemilik rumah makan Mi Kembang Tanjung yang terletak di wilayah Keutapang, Aceh Besar.

Baca juga: Stigma terhadap Aceh Bakal Menguat jika BNN Razia Kuliner Mengandung Ganja

Iswadi tidak memungkiri bahwa masih ada beberapa oknum di Aceh yang menggunakan ganja dalam makanan. Namun, ujarnya, penyelewengan itu jangan digeneralisir sehingga merusak citra kuliner Aceh.

”Masakan di kampung mungkin pakai [ganja], tapi mi Aceh mungkin jarang. Ada satu, dua, tiga yang pakai, [tapi] kami tidak pakai,” kata Iswadi, 34 tahun, yang menjual mi Aceh dengan campuran boga bahari alias seafood, jamur, dan lainnya.

Mi Aceh adalah salah satu makanan tradisional yang terkenal di seluruh Indonesia. Hampir di seluruh kota-kota besar ada rumah makan mi Aceh yang biasa disajikan berkuah, goreng basah, dan goreng.

Sejak bergelut di usaha kuliner mi Aceh pada 2005 silam, Iswadi mengaku tidak pernah menggunakan ganja dalam bumbunya.

“Kami tidak ada memakai resin [ganja]. Kami pakai alami. Dari awal turun temurun kami pakai bumbu tradisional,” kata Iswadi.

Baca juga: Hapus Stigma Makanan Aceh Mengandung Ganja, BNN Bakal Razia Rumah Makan

Takaran rempah yang sesuai dan waktu memasak yang tepat, kata Iswadi, menjadi kunci untuk menghasilkan masakan mi Aceh yang nikmat, tanpa embel-embel penggunaan ganja.

Ratna Dwikora, pemilik restoran Mi Aceh Seulawah.BBC Indonesia/HIDAYATULLAH Ratna Dwikora, pemilik restoran Mi Aceh Seulawah.
Untuk mendapatkan perspektif yang lebih dalam, BBC News Indonesia berbincang dengan Ratna Dwikora, pemilik restoran Mi Aceh Seulawah yang telah memiliki cabang di Jakarta.

Ratna yang memulai usaha kulinernya sejak tahun 1996 mengatakan beragam kuliner yang dia sajikan menggunakan resep-resep khusus warisan nenek moyang.

Namun, tidak dengan ganja di dalamnya, ujar Ratna.

Ratna mencontohkan, untuk membuat mi Aceh yang lezat dia menggunakan 24 bumbu, mulai dari cengkeh, kapulaga, jintan, merica, ketumbar, kayu manis, pala, dan bahan lainnya.

”Saya tidak pernah menggunakannya [ganja], dan juga menemukannya tidak mudah."

"Dari awal kita sudah menggunakan bumbu yang tajam efeknya ke makanan. Artinya menimbulkan cita rasa yang gurih dan juga khas karena kuliner Aceh sangat dipengaruhi dari India dan Arab,” kata Ratna.

Baca juga: BNN Musnahkan Barang Bukti Narkoba, Ada 10.472 Gram Ganja dan Puluhan Ekstasi

Walaupun demikian, Ratna tidak memungkiri bahwa di masa lalu, ganja menjadi salah satu bumbu dalam makanan tradisional Aceh.

”Menurut nenek saya, biji [ganja] digunakan untuk mengempukkan daging. Jadi untuk masakan kari dan sejenisnya. Ganja juga untuk menimbulkan rasa gurih. Kalau saat ini orang sudah pakai MSG [penyedap rasa], pada masa itu mungkin cukup dari biji ganja,” ujarnya.

Selain fungsi tersebut, kata Ratna, ganja dulu bukan tanaman yang dilarang dan mudah ditemukan.

Nenek moyang di Aceh, ujar Ratna, menanam ganja sebagai pendamping tanaman tembakau, ”supaya si hama menyerang ganja, tidak ke pohon tembakau. Jadi untuk mengalihkan si hama dari pohon tembakau ke pohon ganja,” ujar Ratna.

Baca juga: Ganja Jadi Bumbu Makanan, BNNP Aceh Inspeksi Usaha Kuliner

Apakah kuah beulangong pakai ganja?

Tarmizi, 44 tahun, pemilik rumah makan Dek Gam 2 yang terletak di Aceh Besar.BBC Indonesia/HIDAYATULLAH Tarmizi, 44 tahun, pemilik rumah makan Dek Gam 2 yang terletak di Aceh Besar.
Selain mi Aceh, makanan yang kerap disebut-sebut menggunakan ganja adalah kuah beulangong (belanga atau kuali).

Dalam sejarahnya yang dikutip dari situs Kemdikbud, makanan ini adalah perpaduaan antara daun kari dari pedagang India dengan rempah-rempah asli Nusantara.

Di masa lampau, kuah beulangong menggunakan biji ganja dalam daftar bahan rempahnya. Biji ganja yang dihaluskan membuat daging menjadi lebih empuk dan juga sebagai penyedap rasa, bahkan diyakini berfungsi sebagai bahan pengawet alami.

Namun, apakah hidangan ini masih menggunakan ganja hingga sekarang? BBC News Indonesia menemui Tarmizi, 44 tahun, pemilik rumah makan Dek Gam 2 yang terletak di Aceh Besar.

Rumah makan ini menjadi salah satu destinasi kuliner bagi wisatawan luar negeri saat datang ke Kota Banda Aceh.

Baca juga: Kulineran di Lhokseumawe, Panorama Sajikan Mi Aceh Sambil Karaoke

Di dalam restoran yang berbentuk rumah adat Aceh ini, beberapa pekerja terlihat sibuk mempersiapkan makanan khas Aceh yang terkenal kelezatannya dan telah ditetapkan oleh Kemendikbud Ristek sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia, yaitu kuah beulangong pada Jumat (24/05).

Para pekerja secara silih berganti mengaduk gulai kari berisi daging kambing dan nangka muda ini.

Para pembeli pun bisa melihat secara langsung bumbu-bumbu yang digunakan, seperti ketumbar, kelapa gongseng, dan puluhan bumbu lainnya.

Sama seperti mi Aceh, yang membuat rasa kuah beulangong lezat bukan karena ganja, ujar Tarmizi, tapi berasal dari kesempurnaan takaran bumbunya.

”Manis kuah itu pakai bawangnya yang bagus, cabai yang bagus, Insya Allah enak kuahnya,” kata Tarmizi yang meneruskan usaha kakeknya pada tahun 1990-an ini.

Baca juga: 7 Menu Buka Puasa Khas Aceh saat Ramadan, Salah Satunya Kuah Beulangong

Lalu untuk membuat daging yang empuk terletak dari cara mengaduk dan waktu memasak yang minimal dua jam, ”kalau betul-betul keras pakai saja daun kates [pepaya],” katanya.

Di sela-sela aktivitasnya melayani pengunjung, Tarmizi membantah jika kuliner kuah beulangong kini masih menggunakan ganja.

“Yang makan itu bukan orang dewasa dan kalangan anak muda semua. Tapi ada kalangan anak-anak, ada yang ustaz juga. Kalau kita taruh yang macam-macam yang begitu, musibah lah orang, saya tidak berani makan juga,” ujar Tarmizi.

Bagaimana sejarahnya?

Budayawan Aceh dan kolektor manuskrip kuno Tarmizi Abdul Hamid.BBC Indonesia/HIDAYATULLAH Budayawan Aceh dan kolektor manuskrip kuno Tarmizi Abdul Hamid.
Walaupun kini sebagian pelaku kuliner mengaku tidak lagi menggunakan ganja, namun tanaman ini telah hadir selama ratusan tahun dalam khazanah tradisi dan kuliner masyarakat Aceh.

Dari cerita-cerita nenek moyang, manuskrip kuno kerajaan, hingga catatan sejarah kolonial Belanda, ganja menjadi bagian dalam perjalanan kebudayaan masyarakat Aceh.

BBC News Indonesia menemui budayawan Aceh dan kolektor manuskrip kuno Tarmizi Abdul Hamid di kediamannya.

Di rumah Cek Midi, panggilan akrabnya, terdapat lima ruang kaca khusus yang berisi manuskrip kuno masa kesultanan Aceh maupun kitab suci Al-Qur'an zaman dahulu.

Baca juga: Mengenal Kuah Beulangong, Makanan Khas Aceh: dari Sejarah Singkat hingga Proses Memasak

Pemilik Rumoh Manuskrip Aceh ini bercerita pemanfaatan ganja dipengaruhi oleh kehidupan sosial dan budaya masyarakat Aceh yang dahulu sangat akrab dengan kekayaan sumber daya alam.

“Mereka menggunakan hasil rempah-rempah dari alam, termasuk ganja, untuk kehidupan, mulai dari pertanian, pengobatan hingga kuliner,” katanya.

Cek Midi merujuk pada dua kitab yang dimilikinya, yaitu kitab Tajul Muluk dan kitab Ar-rahmah Fil Tib Wal Hikmah karya Teungku Chiek Abbas Kuta Karang.

Dalam catatan cendekiawan Muslim berabad-abad lalu itu, ujarnya, ganja memiliki khasiat untuk pengobatan, seperti penyakit kencing manis atau diabetes.

“Getah, kulit [ganja] yang sudah dikeringkan atau dihancurkan, bisa menjadi penetral darah manis,” kata Cek Midi.

Baca juga: Asal-usul Kuah Beulangong Khas Aceh, Dimasak Saat Perayaan Maulid Nabi Muhammad

Ilustrasi ganjaThinkstock Ilustrasi ganja
Ganja juga disebut dapat mengobati sakit lambung hingga melancarkan peredaran darah.

Selain itu, ganja juga digunakan untuk menyembuhkan luka. Menurutnya, di masa penjajajahan Belanda, warga Aceh menggunakan ganja untuk menyembuhkan luka tembak.

Caranya dengan menghaluskan daun ganja lalu dioles di bagian yang terluka.

“Ganja digunakan sebagai obat merah, cepat merekatkan kembali luka-luka,” katanya.

Dilansir dari laman resmi Lingkar Ganja Nusantara, Kitab Tajul Muluk adalah sebuah naskah kuno yang berasal dari Arab, dibawa masuk ke Aceh oleh saudagar dan pedagang dari Persia serta Negeri Rum (Turki) sekitar abad ke-16.

Naskah asli dari manuskrip kuno tersebut awalnya adalah tulisan tangan dengan menggunakan huruf dan bahasa Arab yang kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Melayu.

Baca juga: Pakai Spektrometer, 5 Hektar Ladang Ganja Ditemukan di Sumut

Dalam tulisan berjudul Ganja di Indonesia: Pola konsumsi, produksi dan kebijakan karya Dania Putri dan Tom Blickman, masyarakat Aceh menggunakan benih ganja untuk meningkatkan rasa, kelembaban, dan terkadang warna dalam hidangan lokal seperti kari kambing dan mi Aceh.

Selain menjadi obat herbal, Cek Midi melanjutkan, masyarakat Aceh dahulu juga menggunakan ganja untuk kuliner, seperti melunakkan daging, menyegarkan makanan, dan menjadi penyedap rasa.

Biji ganja dihaluskan menjadi bumbu yang memberikan rasa sedap pada makanan. Daun ganja digunakan untuk membungkus makanan agar tahan lama.

Hidangan yang menggunakan ganja, ujarnya, utamanya adalah yang berbahan baku daging.

Di bidang pertanian, kata Cek Midi, ganja digunakan sebagai pengusir hama tanaman-tanaman yang jadi andalan bagi masyarakat Aceh.

“Jadi ganja dalam manuskrip kuno Aceh itu dimanfaatkan untuk kebaikan manusia, bukan hal-hal yang negatif,” katanya.

Baca juga: Polres Blitar Tangkap Pengedar Narkoba di Malang, Barang Bukti Ganja 13,7 Kg Senilai Rp 140 Juta

Takaran rempah yang sesuai dan waktu memasak yang tepat, kata Iswadi, menjadi kunci untuk menghasilkan masakan mie Aceh yang nikmat.BBC Indonesia/HIDAYATULLAH Takaran rempah yang sesuai dan waktu memasak yang tepat, kata Iswadi, menjadi kunci untuk menghasilkan masakan mie Aceh yang nikmat.
Senada, sejarawan kuliner dari Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman, melihat ganja masuk dalam kategori bumbu-bumbu rempah dalam masyarakat Aceh dahulu, layaknya merica, kemiri, dan bumbu lainnya.

“Tidak menggunakan ganja dalam makanan maupun minuman di Aceh dahulu ada satu hal yang tidak lengkap rasanya, dan ini menjadi satu bagian yang tidak dapat dipisahkan," kata Fadly.

"Ibaratnya kalau Sunda punya lalapan, mereka punya ganja untuk kebutuhan konsumsi."

Selain di kitab Tajul Muluk, kata Fadly, pemanfaatan ganja telah ditemukan di Aceh hingga Maluku menurut catatan ahli botani asal Jerman yang bekerja untuk VOC pada abad ke-17, G. E. Rumphius.

“Orang Aceh sudah turun temurun menggunakan ganja, dan tidak ada konotasi seperti sekarang bahwa ini merupakan zat adiktif yang masuk dalam kategori NAPZA,” katanya.

Baca juga: Bawa Ganja 141 Kilogram Ganja, Oknum Polisi di Padang Panjang Ditangkap, Dikendalikan dari Lapas

Namun penggunaan ganja mulai menurun di penghujung masa kolonial Belanda hingga akhirnya dilarang secara nasional setelah Presiden Soeharto mengeluarkan UU Narkotika nomor 8 tahun 1976.

“Dalam sebuah khazanah kuliner, larangan ini membuat ganja dan tanaman-tanaman afrodisiak sejenisnya mengalami penurunan pamor karena masyarakat takut mengkosumsinya,” kata Fadly.

UU Narkotika itu merupakan pelaksanaan dari ratifikasi Konvensi Tunggal tentang Narkotika secara internasional yang memasukan ganja sebagai narkotika, setara dengan opium (papaver), dan kokain (koka) pada tahun 1961.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, ganja masuk sebagai narkotika golongan I. Penggunaan ganja dalam bentuk dan tujuan apapun diancam hukuman penjara hingga 12 tahun bahkan seumur hidup.

Baca juga: Penumpang Kapal di Nabire Kedapatan Bawa 1 Kg Ganja

Mengapa memeriksa makanan yang dicurigai?

Ilustrasi Kuah Beulangong.SHUTTERSTOCK/Dodi Potret Ilustrasi Kuah Beulangong.
BNN menyoroti Aceh lantaran provinsi itu adalah salah satu wilayah dengan tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang tinggi di Indonesia.

Menurut data BNN, Aceh menduduki peringkat ke-12 dengan total 1.410 kasus narkotika dan bahan adiktif lainnya pada tahun 2022.

Selain itu, merujuk pada data tersangka tindak pidana narkotika pada tahun 2023, Aceh berada pada urutan ke-11 dengan jumlah tersangka mencapai 1.975 orang.

Salah satu upaya yang dilakukan BNNP Aceh untuk menekan penyalahgunaan narkoba adalah dengan cara melakukan pengawasan dan pengujian terhadap makanan-makanan yang dicurigai menggunakan bahan baku narkoba jenis ganja dalam proses pengelolaannya.

“Program ini sebagai bentuk keseriusan mewujudkan Indonesia bersih narkoba [bersinar] khususnya provinsi Aceh," kata Kepala BNNP Aceh Brigjen. Pol. Marzuki Ali Basyah dalam keterangan pers yang diterima BBC News Indonesia.

Baca juga: Bawa Ganja 141 Kilogram Ganja, Oknum Polisi di Padang Panjang Ditangkap, Dikendalikan dari Lapas

"Selain itu, program ini ditujukan pula untuk mensukseskan perhelatan PON ke XXI dimana Aceh menjadi tuan rumah bersama Sumut."

"Kapan dan di mana dirahasiakan karena pemeriksaan ini sifatnya mendadak," kata Marzuki.

Marzuki mengatakan pemeriksaan ini bertujuan untuk menghilangkan stigma negatif bahwa di beberapa jenis makanan Aceh menggunakan ganja.

Ditambahkannya, penggunaan ganja dalam makanan ini dapat merugikan orang lain.

"Seperti kasus dialami orang yang dikenal baik dan religius. Orang tersebut, jangan mengisap ganja, merokok pun tidak. Dia terjaring razia narkotika dan dinyatakan positif menggunakan ganja," katanya.

Orang tersebut, kata Marzuki, sempat ditahan beberapa hari di Kantor BNN. Namun, setelah pemeriksaan lanjutan bahwa kandungan narkotika dalam tubuhnya bukan karena kecanduan.

"Dari hasil pemeriksaan, orang tersebut sebelumnya ada makan di rumah makan dengan kuliner khas Aceh, tetapi dia tidak ingat di mana. Jadi, dalam kasus ini siapa yang dirugikan, pelaku usaha atau konsumen," katanya.

Untuk mensukseskan program ini, BNNP Aceh mengaku akan bersinergi dengan BPOM, Majelis Pemusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan Kementerian Agama Aceh.

Baca juga: Bersinergi Bersama, Bea Cukai dan BNN Usut Tuntas 4 Kasus Peredaran Sabu dan Ganja di Jateng

"Jangan asal ubrak-abrik dapur orang"

Ilustrasi kuah beulangongShutterstock/FREDOGRAPHY.ID Ilustrasi kuah beulangong
Namun, upaya dari BNNP Aceh ini membuat beberapa pelaku kuliner waswas.

Iswadi, penjual mi Aceh mengaku khawatir langkah ini malah akan menjatuhkan citra kuliner Aceh hingga menurunkan omset penjualannya.

Usaha kulinernya hingga kini belum pulih akibat dampak dari pandemi Covid-19. Mendapat omzet kotor Rp1 juta kini menjadi hari keberuntungan bagi Iswadi.

”Lebih baik keluarkan sertifikat halal daripada memakai hal-hal [pengujian] yang tidak diinginkan oleh masyarakat Aceh,“ katanya.

Senada, penjualan kuah beulangong milik Tarmizi terjun bebas sejak Covid-19.

Dengan munculnya stigma dan pengujian makanan Aceh yang diduga mengandung ganja, menurutnya akan menyebabkan “tamu-tamu menjadi tidak berani makan.”

Baca juga: Penumpang Kapal di Nabire Kedapatan Bawa 1 Kg Ganja

Sementara itu, penjual mi Aceh Ratna berharap proses pemeriksaan memiliki aturan dan mekanisme yang jelas.

“Jangan asal ubrak-abrik dapur orang buat diperiksa, tentu ada aturan-aturan yang harus dipenuhi. Tidak tiba-tiba datang memeriksa dapur, kecuali sudah ada indikasi dan data-data kuat,“ kata Ratna.

Budayawan Cek Midi juga melihat upaya pengujian ini berpotensi menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan sosial masyarakat Aceh.

“Kalau stigma ini belum ditemukan dan duluan mengeluarkan pernyataan, ini merugikan dari orang-orang yang jual makanan itu sendiri,” katanya.

“Apalagi kalau stigma ini tidak bisa dibuktikan. Jelas-jelas merugikan syariat Islam di Aceh, merugikan karakter orang Aceh yang selama ini taat beragama dan merugikan para pedagang itu sendiri,” kata Cek Midi.

Baca juga: 2 Pria Jual Ganja Kering lewat Medsos, Polisi Sebut Jaringan Nasional

Senada, Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Aceh Almuniza Kamal melihat bahwa stigma penggunaan ganja dalam masakan Aceh adalah sebuah kesalahpahaman yang perlu diluruskan.

“Belum ada pernyataan resmi dari pemangku kebijakan seperti BPOM dan MPU terkait hal itu,” kata Kamal.

Kamal menegaskan kuliner Aceh terkenal dengan rempah-rempahnya yang khas dan tidak ada kaitannya dengan penggunaan ganja dalam resep tradisional.

Untuk itu, Pemerintah Aceh melalui Disbudpar terus berupaya mempromosikan keunikan dan kekayaan kuliner Aceh melalui berbagai festival dan acara budaya.

Kabid Audit Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Permusyawaratan Ulama (LPPOM MPU) Deni Candra pun mengaku tidak pernah mendengar stigma yang menyebut makanan Aceh kini masih mengandung ganja.

“Jangan sampai timbul stigma negatif seolah-olah memang semua makanan di Aceh mengandung itu [ganja] sehingga harus ada prinsip kehati-hatian. Jangan sampai menuduh, memfitnah segala macam. Harus komprehensif pemeriksaannya,“ katanya.

Baca juga: Polisi Bakar Barang Bukti Ganja 6,13 Kg, Awak Media Kliyengan

"Logikanya dibalik"

Ilustrasi ganja medis.SHUTTERSTOCK/OMFOTOVIDEOCONTENT Ilustrasi ganja medis.
Ketua pengurus Yayasan Sativa Nusantara, organisasi yang memiliki visi untuk menghidupkan kembali budaya ganja di Nusantara, Dhira Narayana menilai upaya yang dilakukan oleh BNNP Aceh hanya akan berdampak sesaat.

“Implikasinya paling beberapa saat, karena tradisi susah untuk dihilangkan dan tidak akan pernah hilang,” katanya.

Dibandingkan melakukan inspeksi, menurutnya, lebih baik pemerintah bekerja sama dengan masyarakat untuk mengkaji seberapa besar pengaruh ganja dalam kuliner masyarakat Aceh.

“Jangan-jangan justru dari masakan itu membuat masyarakat Aceh tangguh misalnya, bangsa yang cerdas, punya kondisi fisik kuat. Itu menurutku yang menarik diriset,” katanya.

Baca juga: 2 Pria Jual Ganja Kering lewat Medsos, Polisi Sebut Jaringan Nasional

“Pandangan kami mestinya kita jangan creating meaning, tapi finding meaning. Seharusnya kita menemukan makna dari ganja itu lewat tradisi-tradisi ini. Logikanya dibalik mestinya,” katanya.

Sejarawan kuliner Fadly memandang seluruh pemangku kepentingan perlu duduk bersama untuk mencari titik tengah dalam memperlakukan tanaman ganja.

“Di satu sisi manfaat, di sisi lain mereduksi mudaratnya, sehingga tidak dibiarkan bebas menjadi momok menakutkan dan selalu diidentikkan dengan NAPZA.”

Reportase tambahan oleh wartawan Hidayatullah yang melaporkan dari Aceh.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Hinca Pandjaitan Laporkan Dugaan Korupsi di Pertamina Hulu Rokan ke Kejati Riau

Hinca Pandjaitan Laporkan Dugaan Korupsi di Pertamina Hulu Rokan ke Kejati Riau

Regional
Mengenal Suntiang, Hiasan Kepala Pengantin Wanita Minang

Mengenal Suntiang, Hiasan Kepala Pengantin Wanita Minang

Regional
Marshel Widianto Maju di Pilkada Tangsel agar Petahana Tak Lawan Kotak Kosong

Marshel Widianto Maju di Pilkada Tangsel agar Petahana Tak Lawan Kotak Kosong

Regional
Mengintip Tugas Pantarlih, Deni Grogi Lakukan Coklit Bupati Semarang Ngesti Nugraha

Mengintip Tugas Pantarlih, Deni Grogi Lakukan Coklit Bupati Semarang Ngesti Nugraha

Regional
Petugas Pantarlih di Banten Bisa Data via 'Video Call' jika Pemilih Sibuk

Petugas Pantarlih di Banten Bisa Data via "Video Call" jika Pemilih Sibuk

Regional
Panggung Teater sebagai Jalan Hidup

Panggung Teater sebagai Jalan Hidup

Regional
Di Hari Anti Narkotika Internasional, Pj Gubri Terima Penghargaan P4GN dari BNN RI

Di Hari Anti Narkotika Internasional, Pj Gubri Terima Penghargaan P4GN dari BNN RI

Regional
Menilik Kampung Mangoet, Sentra Pengasapan Ikan Terbesar di Kota Semarang

Menilik Kampung Mangoet, Sentra Pengasapan Ikan Terbesar di Kota Semarang

Regional
7 Jemaah Haji Asal Kebumen Meninggal di Mekkah, Kemenag Pastikan Pengurusan Asuransi

7 Jemaah Haji Asal Kebumen Meninggal di Mekkah, Kemenag Pastikan Pengurusan Asuransi

Regional
Mudahkan Akses Warga ke Puskesmas dan RS, Bupati HST Serahkan 3 Unit Ambulans Desa

Mudahkan Akses Warga ke Puskesmas dan RS, Bupati HST Serahkan 3 Unit Ambulans Desa

Regional
Polisi Sebut Remaja Penganiaya Ibu Kandung Alami Depresi

Polisi Sebut Remaja Penganiaya Ibu Kandung Alami Depresi

Regional
Jadi Kuli Bangunan di Blora, Pria Asal Kediri Ditemukan Tewas Tertimpa Tiang Pancang

Jadi Kuli Bangunan di Blora, Pria Asal Kediri Ditemukan Tewas Tertimpa Tiang Pancang

Regional
Orangtua yang Buang Bayi Perempuan di Depan Kapel Ende Ditangkap

Orangtua yang Buang Bayi Perempuan di Depan Kapel Ende Ditangkap

Regional
Program Pengentasan Stunting Pemkot Semarang Dapat Penghargaan dari PBB

Program Pengentasan Stunting Pemkot Semarang Dapat Penghargaan dari PBB

Regional
Alasan Pj Gubernur Nana Sebut Pilkada Serentak 2024 Lebih Rawan Dibanding Pilpres

Alasan Pj Gubernur Nana Sebut Pilkada Serentak 2024 Lebih Rawan Dibanding Pilpres

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com