Sehari sebelumnya, Jhoni juga menemukan sejumlah meja miliknya berjarak 5 kilometer dari rumahnya.
Sedangkan peralatan elektronik seperti kulkas, TV, mesin cuci, dan lainnya masih belum diketahui keberadaannya.
Puing-puing rumah semi permanen berukuran 8 x 12 meter itu telah hilang tak berbekas, hanyut terbawa air bah yang setinggi lima meter lebih, bersama batang beringin dan sampah.
"Airnya sudah seperti tsunami Aceh saja, sangat tinggi dan menakutkan," ungkap Jhoni.
Beruntung, Jhoni dan keluarganya tidak berada di rumah saat kejadian karena menginap di rumah saudara.
Saat kembali, Jhono mendapati rumahnya hanya tingal fondasi.
"Kerugiannya entah berapa banyaknya, tidak bisa saya perkirakan lagi," ujar Jhoni dengan tatapan nanar.
Baca juga: Segera Kunjungi Lokasi Banjir Sumbar, Menko PMK: Kita Carikan Solusi Permanen Agar Tak Berulang
Jhoni masih belum tahu harus bagaimana dengan situasi ini. Ia hanya bisa tinggal di rumah saudara sementara waktu.
"Pengungsian tidak ada. Warga yang rumahnya habis hanya bisa menyelamatkan diri masing-masing," terangnya.
Setelah berjam-jam memisahkan trali dan jendela, Jhoni kembali ke rumah saudaranya tanpa melihat kembali kondisi rumahnya.
Banjir bandang yang melanda Kapalo Koto, Sungai Puar, Agam Sumatera Barat, menewaskan satu keluarga guru Diniyyah Limo Jurai, Syaukani Sani.
Guru senior itu meninggal tersapu banjir bersama rumahnya.
Tokoh Masyarakat Kapalo Koto, Sastra, menyebut, saat kejadian korban di rumah bersama istri, anak kandung dan anak saudaranya.
"Kalau untuk bagaimana informasi pasti mereka hanyut mungkin tidak ada yang tahu. Tapi setelah banjir terjadi, Syaukani dan keluarganya sudah tidak terlihat lagi," ujarnya.
Ia menyebut malam itu kondisi cuaca hujan dan listrik juga putus.
Baca juga: Media Asing Soroti Banjir Bandang Sumbar, Jumlah Korban dan Pemicunya