Hamzah kini kehilangan mata pencaharian, sebab gudang penyimpanan garam tempatnya mencari nafkah telah berhenti beroperasi sejak awal Januari 2024.
"Stok garam di gudang masih banyak, cuma tidak ada pengiriman keluar daerah. Kita yang bekerja di sana terpaksa harus menganggur," kata Hamzah saat ditemui, Senin (5/2/2024).
Hamzah mengungkapkan, menjadi buruh angkut di gudang penyimpanan garam adalah sumber mata pencaharian utamanya untuk memenuhi kebutuhan hidup istri dan buah hatinya yang baru berusia enam bulan.
Namun karena gudang berhenti beroperasi, ia harus berjuang mencari sumber penghasilan lain, salah satunya menjadi buruh bangunan dan terkadang digaji untuk memupuk tanaman jagung warga setempat.
Dari pekerjaan serabutan ini, Hamzah mengaku bisa membawa pulang uang Rp 100.000 sampai Rp 150.000 per hari.
"Dulu ketika gudang garam ini berhenti kita bisa beralih ke gudang jagung, tapi sekarang belum masa panen jadi gudang jagung juga tidak beroperasi," ujarnya.
Hamzah mengatakan, sudah cukup lama menjadi buruh angkut di gudang penyimpanan garam. Meski gajinya hanya berkisar Rp 100.000 sampai Rp 200.000 per hari, namun pendapatan tersebut dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
"Besaran gaji tergantung banyak garam yang kita angkut ke mobil truk, sehari paling rendah kita itu dapat gaji dari Rp 100.000," ungkapnya.
Baca juga: SE Menaker Libur Pemilu 2024: Pengusaha Harus Izinkan Buruh Mencoblos
Nilainya sebesar Rp 2,5 juta atau naik sekitar 7,3 persen dari UMK tahun 2023 lalu senilai Rp 2,4 juta.
Meski terus mengalami kenaikan tiap tahunnya, Haris Dinata tak menampik banyak perusahaan kecil dan menengah di wilayah ini yang belum mampu membayar gaji karyawannya sesuai UMK Kota Bima.
Baca juga: Kisah Penyandang Disabilitas dan Hak Politik yang Terabaikan di Kota Bima (Bagian 1)
"Pelaksanaan di lapangan memang ada penyimpangan. Kita tetap berharap perusahaan mampu membayar sesuai standar itu," kata Haris.
Menurutnya, terhadap perusahaan yang tidak mampu membayar gaji sesuai UMK, sepanjang itu didasari kesepakatan awal dengan karyawan, maka pihaknya tak bisa mengintervensi.
Namun dinas tetap memberi imbauan.
Jika dipaksa tetap membayar upah sesuai UMK, bisa dipastikan perusahaan-perusahaan tersebut akan gulung tikar.
"Kalau usahanya tutup lapangan pekerjaan akan semakin terbatas. Masyarakat kita masih banyak yang butuh pekerjaan," jelasnya.
Baca juga: Kisah Penyandang Disabilitas dan Hak Politik yang Terabaikan di Kota Bima (Bagian 2)
Haris Dinata mengungkapkan, belum ada perusahaan swasta skala besar di wilayah ini, rata-rata baru skala kecil dan menengah.
Seperti halnya beberapa perusahaan air minum kemasan, rata-rata masih skala kecil sehingga tidak bisa dipaksa membayar upah karyawan sesuai UMK.
"Kalau pabrik air minum kemasan itu usaha rumah tangga, tidak wajib gaji sesuai UMK tapi secara moril kita tetap berharap dan perusahaan mempertimbangkan itu, yang pasti tidak bisa dipaksa," kata Haris Dinata.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.