Akhirnya, Lumbilang dan Balialan menemukan tali yang dikaitkan rapat akan membunyikan nada tinggi, begitupun sebaliknya.
Cerita ketiga berkisah tentang Lunggi dan Balok Ama Sina, dua orang penggembala domba sekaligus penyadap tuak.
Ketika mereka sedang membuat haik dari daun lontar, terdapat semacam benang atau fifik diantara jari-jari dari lembaran daun lontar.
Ternyata ketika benang tersebut apabila dikencangkan akan menimbulkan bunyi.
Hal ini menjadi inspirasi bagi kedua sahabat ini untuk membuat suatu alat musik petik yang dapat meniru suara atau bunyi-bunyian yang ada pada gong.
Mereka kemudian mencungkil tulang-tulang daun lontar yang kemudian disenda dengan batangan kayu.
Karena suara yang dihasilkan kurang bagus, maka kemudian diganti dengan batang bambu yang dicungkil kulitnya, serta disenda dengan batangan kayu.
Cerita keempat berkisah tentang Pupuk Soroba yang menyaksikan seekor laba-laba besar tengah memainkan jaring (sarang) sehingga terdengar alunan bunyi yang indah.
Hal ini membuatnya ingin juga menciptakan sebuah alat musik yang dapat mengeluarkan bunyi yang indah.
Pupuk Soroba kemudian mencoba mencungkil lidi-lidi daun lontar yang mentah, lalu disenda, dan kemudian dipetik.
Ia juga memasang ruas bambu pada haik yang terbuat dari daun lontar, serta senar atau dawai yang dibuat dari serat akar pohon beringin.
Pupuk Soroba kemudian mengganti dawai itu dengan dawai yang terbuat dari usus musang yang kering dan ternyata menghasilkan resonansi bunyi yang lebih besar.
Hal ini pula yang menjadi sebuah mitos di kalangan pemain sasando, yang didapat dengan menirukan cara kerja laba-laba.
Dari kepercayaan (mitos) yang dipercaya orang Rote, seseorang yang ingin pandai memetik sasando menangkap seekor laba-laba lalu menghancurkannya, kemudian dicampur dengan minyak kelapa.
Minyak tersebut kemudian digunakan dengan cara diremas-remas pada jari-jemari.
Sasando mudah dikenali dari bentuknya yang khas dan berbeda dari alat msik lain.
Dilansir dari laman Gramedia, bentuk sasando berupa tabung panjang yang terbuat dari bambu dengan penyangga atau senda, serta wadah dari anyaman daun lontar yang disebut dengan haik.
Senda memiliki fungsi untuk merentangkan sena dan mengatur tangga dan nada atau timbrenya.
Sementara haik berfungsi untuk menciptakan resonansi (getaran yang menimbulkan bunyi).