Seorang pengungsi lainnya, Khalit, 26, menceritakan hal senada soal alasannya meninggalkan kamp di Bangladesh.
“Kami tidak aman di sana, tenda-tenda dibakar. Ada beragam pihak yang tidak kami kenali datang ke tenda kami, lalu membakarnya,” kata Khalit kepada kantor berita AFP.
“Kami memutuskan untuk pergi kapan pun kami bisa dan aman. Kami memutuskan setelah kami mendengar bahwa Indonesia adalah negara terbaik untuk pengungsi, itulah mengapa kami memutuskan pergi ke Indonesia,” sambung Khalit.
Sejak pertama kali kedatangan para pengungsi Rohingya pada 14 November lalu, Pemerintah Kabupaten Pidie menyatakan bahwa mereka “masih menunggu kebijakan dari pemerintah pusat” soal bagaimana menangani para pengungsi.
Ratusan pengungsi yang tiba di wilayah Pidie kini ditempatkan sementara di tenda yang didirikan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Sedangkan konsumsi mereka ditanggung oleh UNHCR.
“Pemerintah daerah sedang menunggu kebijakan pemerintah pusat karena sudah beberapa kali meeting melalui Zoom tapi belum ada kepastian,” kata Penjabat Bupati Pidie, Wahyudi Adisiswanto dikutip dari kantor berita Antara pada Rabu (22/11).
Wahyudi juga mengutarakan “akan menolak” jika ada pengungsi lainnya yang mendarat di wilayah Pidie.
Baca juga: Ditolak di Sabang, 219 Pengungsi Rohingya Dievakuasi ke Bekas Kantor Imigrasi di Lhokseumawe Aceh
Kebingungan soal mekanisme penanganan pengungsi ini juga disuarakan oleh Ketua Komisi 1 DPR Aceh, Iskandar Usman Al-Falarky. Menurutnya, sikap pemerintah pusat yang belum jelas membuat penanganan pengungsi oleh pemda pun menjadi tidak maksimal.
“Misalnya soal penggunaan anggaran, tidak ada peraturan baku mengenai penanganan pengungsi Rohingya anggarannya dari mana? Pemerintah daerah tidak bisa menggunakan anggaran karena regulasinya juga tidak jelas,” papar Usman kepada wartawan di Aceh, Rino Abonita, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
BBC News Indonesia telah menghubungi Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Bidang Politik Hukum dan Keamanan terkait hal ini, namun belum ada tanggapan.
Sebelumnya, suara-suara penolakan untuk menerima pengungsi pun sempat mengemuka dari sebagian warga. Meski pada akhirnya, dari total enam kapal yang mendarat di Aceh dalam sepekan, tidak satu pun yang dipaksa kembali ke laut.
Baca juga: Ditolak di Sabang, 219 Pengungsi Rohingya Dievakuasi ke Bekas Kantor Imigrasi di Lhokseumawe Aceh
Perwakilan UNHCR untuk Indonesia, Ann Mayman, menyebut situasi di lapangan sudah “lebih stabil” dan pihaknya mengupayakan agar para penduduk lokal bisa memahami situasi yang dihadapi oleh para pengungsi Rohingya.
“Penting untuk memahami siapa para pengungsi Rohingya ini. Beberapa pihak menyebut mereka sebagai Palestina-nya Asia, tapi mereka tidak mendapat perhatian yang sama seperti yang kita berikan kepada orang-prang Palestina. Di sini lah masalahnya,” kata Mayman kepada wartawan BBC News Indonesia, Hanna Samosir.
“Semua orang berpaling dan menganggap mereka kriminal, dan itu sangat tidak tepat.”
“Mereka adalah orang-orang yang rentan. Mereka tidak punya kewarganegaraan. Mereka membutuhkan perlindungan,” kata dia.
Menurutnya, terdapat sejumlah kelompok bersenjata yang bertikai satu sama lain di kamp pengungsian. Sebagian pengungsi dan pemilik toko diminta untuk membayar “pajak” kepada kelompok bersenjata ini.
Krisis global juga membuat lebih sedikit dana didonasikan kepada para pengungsi Rohingya. Uang makan yang sebelumnya diberikan sebesar US$12 per bulan untuk per orang, telah dikurangi menjadi US$8.
Lewa mengatakan migrasi orang-orang Rohingya telah meningkat sejak tahun lalu. Mayoritas dari mereka masih bertujuan ke Malaysia, yang bisa ditempuh melalui jalur Myanmar-Thailand atau Indonesia.
Baca juga: Polisi Tangkap Sopir Truk Pembawa Kabur 36 Pengungsi Rohingya di Aceh Timur
Namun karena kian intensnya situasi konflik di Myanmar beberapa pekan terakhir, perbatasan dijaga lebih ketat.
BBC News Burmese melaporkan bahwa kubu pemberontak Tentara Arakan telah melanjutkan pertempuran dengan militer Myanmar pada 13 November lalu.