Dengan kondisi keterbatasan, SU masih belum lancar membaca. Bahkan, mengenal huruf juga belum tuntas.
"Sekolah bagi SU bukan untuk menggapai cita-cita tetapi merasakan kesempatan belajar seperti yang lain," cerita Sahami.
Meskipun sekolah dasar yang ada di desa itu sudah menerapkan pendidikan inklusi dan ramah anak bagi Sahami anaknya tidak bisa mengikuti pembelajaran seperti temannya.
Begitu pula standar di tingkat SMP yang jauh lebih sulit. Batin Sahami semakin teriris setiap memikirkan nasib anaknya itu.
Ia menyadari bangku pendidikan adalah jalan mengakses masa depan tetapi apa daya ketika keterbatasan membatasi mereka.
Sahami berurai air mata. Ia tidak mampu lagi menahan pedih. Anak perempuannya itu sudah sejak lahir mengalami keterbatasan fisik dan mental.
Sebagai seorang anak, SU sesekali membantu pekerjaan orangtuanya saat musim panen tiba. Meskipun kondisi fisiknya tidak mendukung.
Kedua orangtua SU menjadi buruh panen di sawah dan kebun milik orang lain. Hasil upah dari memanen itu dikumpulkan untuk biaya hidup.
Baca juga: Perjuangan Ibu di Kediri Rawat Anak Disabilitas hingga Kematian Menjemput Keduanya
Namun tidak banyak yang mampu dikerjakan SU saat di sawah. Ia hanya membantu seadanya.
SU pernah ditawari melanjutkan pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang berlokasi di Kecamatan Alas, tetapi orangtuanya tak mampu mengantarkan karena jarak yang cukup jauh.
"Kami tidak punya kendaraan untuk antar tiap hari. Untuk makan saja susah, bagaimana kami akses SLB yang cukup jauh di Alas," ucap Sahami.
Harapan itu sempat ada saat pihak SLB menjanjikan ada bus antar jemput, tetapi tidak pernah terealisasi.
"Tidak pernah ada bus antar jemput untuk anak dengan keterbatasan fisik yang sempat dijanjikan itu," sebut Sahami.
Sementara, MA (12) sudah kelas satu SMP. Ia tidak memiliki disabilitas fisik tapi masuk kategori lamban belajar. Tubuh MA kurus, tidak seperti anak lain seusianya.
Sahami dan Saparuddin berharap MA bisa meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi agar bisa membantu perekonomian keluarga di masa depan.
Nasib yang sama juga dirasakan CI (10), anak dengan disabilitas wicara ini sempat merasakan bangku pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Desa Labuhan Alas, Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa Selama tiga tahun.
Namun, CI akhirnya putus sekolah. Hal itu karena orangtuanya mengalami kesulitan ekonomi dan memilih menyerah.
Jarak sekolah yang jauh, sulitnya akses kendaraan umum, serta keterbatasan biaya, membuat orangtuanya tidak melanjutkan sekolah CI.
"Mesti antar-jemput sekolah. Kami tidak ada uang lagi," ujar Hat, orangtua CI yang bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Di Kabupaten Sumbawa, jumlah sekolah luar biasa hanya ada dua yaitu SLBN 1 Sumbawa di Kecamatan Sumbawa dan SLBN 2 Sumbawa di Kecamatan Alas, sedangkan jumlah kecamatan ada 24 tentu tidak bisa menjangkau semua anak dengan kebutuhan khusus yang berada di desa.
Sekretaris Dinas Sosial, Kabupaten Sumbawa, Marga Zulkifli Rayes mengatakan negara menjamin akses pendidikan bagi anak melalui bantuan Kartu Indonesia Pintar (KIP) bagi keluarga miskin termasuk penyandang disabilitas. Selanjutnya, negara menjamin akses kesehatan masyarakat melalui BPJS.
Menurutnya, desa harus lebih aktif melakukan pendataan jumlah anak yang mengalami kebutuhan khusus, yaitu disabilitas fisik maupun non fisik.