GORONTALO, KOMPAS.com – Musim kemarau di Desa Reksonegoro kali ini benar-benar kering, bukit-bukit di belakang desa tertutup semak yang kekurangan air, daunnya kecoklatan mengering, tidak hijau lagi.
Kondisi yang sama juga mendera sungai yang berada di antara perkampungan dan bukit, airnya sudah menyurut dari kondisi normal. Jika dilongok dari atas jembatan kayu, terlihat dasar sungai yang lebih dalam dengan belukar di sisi kanan dan kirinya.
Desa Reksonegoro ini berada di Kecamatan Tibawa Kabupaten Gorontalo. Seluruh penduduknya adalah suku Jawa Tondano (Jaton) yang mulai membangun desa ini sejak tahun 1925, setelah Desa Yosonegoro berdiri sekitar tahun 1903 dan Desa Kaliyoso di sekitar tahun 1915.
Baca juga: Tradisi Meludan Wengi dan Meludan Awan, Momen Berkumpul Warga Jawa Tondano Rayakan Maulid Nabi
Reksonegoro merupakan desa yang masih kental dengan tradisi dan budaya Jaton dibanding desa-desa Jaton lainnya, bahkan dari Kelurahan Kampung Jawa yang ada di Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara, tempat asal muasal masyarakat Jaton.
Kaum wanita Jaton di Reksonegoro sudah sibuk menyiapkan bahan makanan yang akan dimasak dan dihidangkan ke masjid.
Mereka sudah menyiapkan papaya muda, kacang merah (brenebon), dan lainnya, bumbu dan rempah di dapur sudah lengkap.
“Kalau menjelang meludan seperti sekarang ini dipastikan bau harum makanan akan tercium dari setiap rumah di desa kami,” kata Mimy Pulukadang, warga Jawa Tondano yang tinggal di Kota Gorontalo, Kamis (28/9/2023).
Tradisi Meludan atau peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ini merupakan kebiasaan lama yang masih lestari dijalankan. Masyarakat Jaton mengenal 2 meludan, yaitu meludan wengi dan meludan awan.
Meludan wengi dilaksanakan pada malam hari hingga menjelang siang, sedangkan meludan awan lazimnya dilakukan pada siang hingag sore. Semua kegiatan ini dilaksanakan di masjid Almaghfirah, masjid tua Desa Reskonegoro.
Bagi masyarakat Jaton meludan memiliki makna khusus yang unik dan selalu berkesan meskipun rutin digelar setiap tahun.
“Tradisi kami Jawa Tondano di Gorontalo dalam memperingati maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 12 Rabiul Awal dengan dua kegiatan, yaitu meludan awan dan meludan wengi,” kata Mimy Astuti Pulukadang.
Baca juga: Kue-kue Tradisional Ini Muncul Saat Perayaan Maulid Nabi di Gorontalo
Di Reksoengoro meludan wengi telah digelar tadi malam. Pada tradisi ini lelaki Jaton akan memenuhi masjid Almaghfirah, mereka melantunkan Sejarah kelahiran dan puja-puji pada Nabi Muhammad melalui kitab klasik.
Kekhusukan terlihat dari wajah para pria dewasa, beberapa orang juga berada di sudut ruang masjid tidak jauh dari beduk dan kentongan (tetengkoren) tua yang tergantung.
Hasyim Wonopati sesepuh desa berkisah masjid tua ada sejak orang Jaton menetap di kampung ini. Awalnya hanya berdinding kayu sederhana dengan luas tidak lebih dari 8x8 meter. Seiring bertambahnya penduduk masjid ini diperbesar untuk menampung jamaah yang lebih banyak, sekitar tahun 1950-an masjid ini dipugar, dinding papan kayu yang lebih kokoh dipasang, namun empat tiang utama masih dipertahankan.
Mimy Astuti Pulukadang menjelaskan, pada meludan wengi, imam masjid, tokoh agama dan kaum lelaki Jaton selepas salat isya di masjid bersama-sama membaca salawat Jowo sebagai bentuk puji-pujian kepada Nabi Besar Muhammad SAW sampai menjelang salat subuh.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.