LEBAK, KOMPAS.com - Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Perdagangan bakal melarang praktik e-commerce TikTok dalam aplikasi atau disebut TikTok Shop.
Praktek jual beli itu dilarang karena TikTok terdaftar sebagai platform media sosial, bukan platform jual/beli layaknya marketplace.
Kebijakan membuat pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) khawatir dengan keberlangsungan bisnis mereka. Apalagi yang menggantungkan sebagian besar usahnya melalui platform TikTok.
Baca juga: TikTok Shop Dilarang, Warga Batam Kecewa: Ga Ada Lagi Gratis Ongkir
Arifin (24), misalnya, usaha dia terancam gulung tikar jika larangan berjualan di TikTok benar-benar diberlakukan. Hal ini berpotensi membuat 45 karyawannya menganggur.
Ia mengaku bingung dengan kebijakan tersebut. Karena menurut dia, saat ini ada jutaan pelaku UMKM yang berjualan di TikTok.
“Padahal kalau ngomong UMKM, kita juga UMKM, bedanya kita berkembang di platform digital, saya bangun usaha dari nol di TikTok hingga kini punya 45 karyawan,” kata Arifin kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Selasa (26/9/2023).
Baca juga: TikTok Shop Dilarang, Pengguna dan Pembeli Beralih ke Aplikasi Lain
Arifin bercerita, dia menjalani usaha di TikTok dengan brand fashion Haibro sejak Desember 2022.
TikTok dipilih menjadi toko online Haibro, karena menurut dia punya algoritma yang adil untuk pelaku usaha pemula.
“Benar-benar dari nol, awalnya jualan tanpa modal, hingga kini bisa tumbuh besar dan mencapai 40.000 transaksi di TikTok,” kata dia.
Karena di TikTok, sambung Arifin, dia bisa mempekerjakan 45 orang di Lebak dan Tangerang mulai dari penjahit, kurir, staf packing hingga talent live TikTok.
Sejak kebijakan TikTok tidak boleh berjualan, Arifin sudah memberitahu karyawannya akan kemungkinan terburuk bagi mereka yakni pemutusan hubungan kerja.
Saat ini hal tersebut belum dilakukan karena masih menunggu kebijakan lebih lanjut.
Namun demikian, Arifin sudah mulai mengurangi produksi untuk antisipasi larangan berjualan benar-benar diterapkan.
Jika dipaksakan produksi saat seperti ini, usahanya bisa berpotensi mengalami kerugian hingga Rp 500 juta.
Arifin berharap, kebijakan tersebut bisa dikaji ulang oleh pemerintah jika memang tujuannya untuk melindungi UMKM.