SUMBAWA, KOMPAS.com - Memasuki puncak musim kemarau, 1.674 warga pesisir pantai bagian utara di Desa Labuhan Ijuk, Kecamatan Moyo Hilir, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, semakin kesulitan mendapatkan air bersih.
Pasalnya, desa ini hanya menggunakan satu sumur air tanah sebagai sumber mata air yang dikelola pemerintah desa.
"Debit air semakin kecil karena puncak kemarau. Digilir selang sehari per rumah dapat air tapi kecil debitnya. Jadwalnya pukul 2 sampai 3 dini hari dan kadang berubah siang pukul 10.00 hingga 12.00 Wita," kata Hanasia (63), Rabu (6/9/2023).
Jarak sumber mata air sumur gali bantuan pemerintah itu dari pusat desa sekitar 3 kilometer berlokasi di dekat pegunungan.
Baca juga: Kekeringan Meluas di Sumbawa, 15 Kecamatan Terdampak
Air dialiri menggunakan pipa hingga ke rumah warga tetapi sekarang air sumur sering macet karena mengering.
Ia mengaku menampung air dengan beragam alat seperti jerigen, drum, ember, bak, panci, hingga bong yang terbuat dari tanah liat.
Untuk kebutuhan air minum dan memasak, warga membeli air galon dengan harga Rp 5.000 per hari.
"Saya beli air galon Rp 10.000 untuk dua hari. Karena di rumah saya berdua dengan suami saja," katanya.
Ia menyebutkan, air yang dari sumur desa rasanya payau jadi tidak digunakan untuk minum.
"Kebutuhan air bertambah setiap ada acara atau datang tamu," sebut Hanasia.
Sementara itu, Masnati (46) mengaku membeli air galon hingga Rp 25.000 per hari.
"Saya jualan nasi, jadi banyak kebutuhan air bersih. Memasuki musim kemarau sekarang ini, debit air sumur bor semakin sedikit," katanya.
Beberapa warga berinisiatif memiliki sumur sendiri walaupun air tersebut asin. Air asin digunakan untuk mandi dan cuci kakus ketika tidak ada air sumur yang dikelola pemerintah desa keluar.
"Saya mandi air asin. Ya, gimana lagi air bersih sumur tidak tiap hari. Harga air galon juga cukup mahal jika dipakai untuk mandi," ujar Masnati
Muhammad Saleh MJ (62) Kades Labuhan Ijuk mengakui kesulitan air bersih semakin parah saat musim kemarau.