Ritual pelaksaan tradisi Cowongan menggunakan berbagai mantra sebagai syarat mutlak dalam pelaksanaannya.
Tradisi Cowongan akan dilakukan pada waktu tertentu.
Pelaksaan tradisi Cowongan hanya dilakukan pada masa musim kemarau panjang, sehingga tidak setiap tahun ada ritual Cowongan.
Baca juga: Peresehan, Ritual Meminta Hujan bagi Masyarakat Lombok
Waktu pelaksanaan tradisi Cowongan biasanya dilakukan setiap musim kemarau berkepanjangan pada malam Jumat Kliwon di bulan Kapat (kalender Jawa) atau sekitar September hingga Oktober.
Tradisi Cowongan biasa dilakukan di sejumlah wilayah, seperti Banyumas, Kabupaten Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, atau Kebumen.
Masing-masing wilayah memiliki ciri khasnya tersendiri, meskipun bentuknya mirip.
Tradisi tersebut mempunyai tujuan sama yaitu meminta hujan pada saat kemarau panjang.
Cowongan berasal dari kata cowang coweng yang berarti corat coret di wajah Cowong, boneka yang digunakan dalam ritual ini.
Tradisi Cowongan dilakukan dengan menggunakan properti berupa siwur atau irus yang dihias menyerupai putri.
Irus adalah sendok besar cekung yang biasa digunakan untuk menyendok sayur dan terbuat dari tempurung kelapa.
Palaku tradisi Cowongan adalah wanita dalam keadaan suci (tidak sedang haid, nifas, atau yang baru usai melakukan hubungan seksual).
Ritual Cowongan dilakukan dengan para peraga yang menyanyikan sebuah tembang yang sesungguhnya merupakan doa-doa.
Keberhasilan pertunjukan Cowongan ditandai dengan cepat lambatnya hujan turun yang dipengaruhi dengan ritual-ritual sebelum pelaksanaa Cowongan.
Ritual Cowongan dilakukan karena adanya pemahaman masyarakat bahwa alam semesta mempunyai kekuatan yang dapat mempengaruhi kehidupan manusian, baik positif maupun negatif.
Pada saat ini, tradisi Cowongan tidak hanya dilakukan sebagai ritual, tetapi sebagai kesenian khas yang disajikan dengan gerak dan lagu lengkap dengan iringannya.