Tenaga Ahli Utama KSP, Theofransus Litaay, mengatakan bahwa bantuan dari pemerintah sudah disalurkan oleh Kementerian Sosial sejak muncul masalah di sana akibat cuaca ekstrem.
Ia menyebut cuaca beku yang membuat tanaman pangan menjadi rusak. Sehingga kemudian kecukupan pangan di daerah tersebut terganggu. Sehingga, pemerintah perlu mengirim bantuan berupa pangan agar dapat mencukupi kebutuhan warga yang terdampak.
“Karena memang tanamannya tidak bisa dipanen. Karena cuaca kering itu, jadi tanaman yang seharusnya bisa dipanen itu menjadi beku, layu dan nggak akan mungkin memproduksi,” ujarnya.
Theofransus mengatakan dengan situasi cuaca saat ini, tidak mungkin warga mendapatkan bahan makanan selain dari bantuan pemerintah.
“Juga ada dampak dari wilayah yang terisolasi, yang terpencil, ini kan banyak daerah-daerah yang terpencil di puncak gunung yang tinggi. Sehingga mereka memang butuh memperoleh bantuan dari pemerintah. Karena kalau tanaman rusak, dia nggak punya opsi lain.
Baca juga: BNPB: Kekeringan di Papua Tengah Sebabkan Krisis Pangan dan Air, Berakibat 6 Warga Meninggal
“Saya kira pemerintah harus memberikan bantuan karena kondisi riilnya ada kebutuhan untuk itu. Kalau pemerintah melihat ada masalah apa dan mencoba membantu,” ujarnya.
Ia menambahkan jenis bantuan dari Kemensos mencakup antara lain makanan dewasa, makanan anak, lauk pauk, tenda gulung, pakaian anak, pakaian dewasa, celana dewasa, dan selimut.
Plt. Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, mengatakan gagal panen yang menimbulkan kelaparan di daerah Papua Tengah disebabkan oleh musim kemarau yang membawa angin kering.
“Ketika angin kering, maka uap airnya lebih sedikit. Maka kapasitas untuk menyimpan panas lebih sedikit. Itu makanya terasa lebih dingin pagi, di Jakarta, dan mayoritas lokasi di Jawa dan sebagian wilayah Selatan khatulistiwa,” kata Ardhasena kepada BBC News Indonesia.
Hal tersebut kemudian membuat panen beku saat temperatur turun di malam hari.
“Kalau malam dingin banget, siang kembali panas. Jadi bukan panas lembab seperti beberapa tahun yang lalu. Jadi panasnya cenderung lebih kering. Suhunya sedikit lebih rendah, jelasnya.
Ardhasena mengaku BMKG sudah lama memberikan peringatan tentang kekeringan itu bagi para pemangku kepentingan. Hanya saja, bagi daerah Papua ada risiko tersendiri karena daerah pegunungan terjadi pembekuan.
“Ini pernah terjadi sebelumnya. Tahun 2015 dan juga 2019. Dan kedua tahun itu kan El Nino juga.
“Jadi di Papua lebih sering jadinya, karena bertemu dengan kemarau. Pada 2019 kita nggak begitu dengar karena di sana relatif basah dan juga itu tahun 2020, 2021, dan 2022,” katanya.
Meski begitu, Ardhasena mengatakan masalah kelaparan yang terjadi di Papua Tengah akibat gagal panen “bukan hanya sekadar iklim”. Tetapi juga dari segi ketersediaan pangan, warga Papua belum siap untuk menghadapi cuaca ekstrem tersebut.
“Ada isu yang lain juga. Dari segi supply chain, dari akses. Itu mungkin bukan ranah kami. Karena lokasinya juga terpencil. Jadi itu memperparah kondisi di sana,” katanya.
Dr Mulyadi mengatakan masyarakat Papua sudah sangat paham dengan kondisi cuaca di pegunungan, khususnya pada musim kemarau.
Namun, kini kegiatan bercocok tanam menjadi semakin jarang dilakukan karena faktor-faktor eksternal seperti perubahan pola hidup dan masalah keamanan. Bahkan, lubung atau cadangan makanan sudah tidak dipersiapkan secara maksimal lagi.
Baca juga: Atasi Kelaparan di Papua Tengah, Mendagri Pastikan Bantuan Mulai Didapat Warga
“Mereka sedikit demi sedikit meninggalkan pola bertani mereka yang diturunkan oleh orang tua mereka, nenek moyang mereka dengan kesibukan era-era sekarang, era modern.
“Di mana di Papua, kondisi Papua yang misalnya kondisi keamanan, mereka takut untuk pergi ke ladang. Kemudian kondisi politik, kan itu di PegununganTengah itu kan baru.” kata Mulyadi.
Ia mengatakan jika masyarakat setempat dipersiapkan dengan lebih matang untuk menghadapi cuaca seperti itu, mungkin tidak akan terjadi semacam kekurangan pangan, kelaparan.
“Pola-pola yang mereka lakukan, tentu dengan teknologi hasil penelitian bagaimana ketika berhadapan dengan kondisi yang ekstrem. Misalnya tentang cuaca yang dingin atau cuaca yang panas, sehingga bahan makanan mereka itu tetap bertahan,” ungkap Mulyadi.
Sebab, sambungnya, selama ini warga Papua terlalu bergantung dengan makanan yang dikirim dari luar Papua. Sehingga, cadangan makanan menjelang musim kering tidak mencukupi.
“Ketika terjadi begini kan, apalagi kalau misalnya seperti Pak Jokowi bilang kan kondisi keamanan yang tidak menentu, sehingga dropping makanan tidak bisa dan kelaparan itu terjadi,” katanya.
Baca juga: Jokowi Akui Isu Keamanan Jadi Hambatan Atasi Bencana Kekeringan dan Kelaparan di Papua
Menanggapi saran tersebut, Tenaga Ahli KSP Theofransus Litaay setuju perkembangan seperti itu perlu dilakukan. Ia mengeklaim pemerintah sudah mulai melakukan riset dengan melibatkan beberapa instansi, terutama perguruan tinggi yang dada di Papua.
“Sebenarnya riset-riset itu sudah dilakukan oleh para peneliti di Universitas Cendrawasih maupun Universitas Negeri Papua. Itu yang menjadi input bagi pemerintah sehingga mereka bisa merespons secara lebih cepat.
“Tentunya apa yang sedang berlangsung itu memberikan suatu- menjadi data bagi kita untuk merumuskan bagaimana merumuskan keputusan kebijakan semacam apa yang dibutuhkan oleh para petani,” ungkapnya.
Plt. Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, mengatakan bahwa terkait cuaca ekstrem, memang sangat sulit untuk memprediksi kapan akan terjadi dalam rentang waktu panjang.
Terutama dengan perubahan iklim yang membuat keadaan cuaca semakin volatil.
Baca juga: Duka di Papua Tengah, 6 Warga Meninggal akibat Kekeringan dan Kelaparan
“Kalau diprediksi mungkin dari beberapa bulan yang lalu, misal tanggal sekian akan terjadi itu barangkali sulit. Kalau dalam hitungan hari itu bisa, tapi artinya kan dalam praktik, seharusnya ada adaptasi jangka panjang,” kata Ardhasena.
Oleh karena itu, untuk mencegah terulangnya bencana kelaparan seperti di Papua Tengah, ia merasa perlu ada upaya penguatan yang dilakukan pada sektor-sektor selain iklim.
“Jadi langkah adaptasi paling baiknya memperbaiki atau meningkatkan dukungan dari aspek-aspek yang non-iklim. Aspek akses, aspek dukungan rantai suplai, itu yang bisa dilakukan menurut saya. Karena kalau iklimnya enggak bisa diapa-apain,” ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.