Kemegahan Candi Borobudur sempat menghilang akibat terkubur tanah dan debu vulkanik erupsi Gunung Merapi.
Bahkan para ahli menduga bahwa Candi Borobudur sempat ditinggalkan akibat bencana Gunung Merapi yang meletus pada sekitar tahun 1006 Masehi.
Hal ini terjadi ketika Raja Mpu Sindok memindahkan ibu kota Kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur, sehingga Candi Borobudur diperkirakan terlantar antara tahun 928 Masehi dan 1006 Masehi.
Sampai pada sekitar tahun 1365 Masehi, Mpu Prapanca menyebutkan istilah “Wihara di Budur” dalam sebuah naskah berjudul Negarakertagama yang ditulis ketika Kerajaan Majapahit masih berdiri.
Seiring berjalannya waktu, tepatnya hingga abad ke-18, Candi Borobudur sudah tidak digunakan.
Dalam banyak naskah Jawa, salah satunya yang berjudul Serat Centhini menyebutkan lokasi candi ini sebagai sebuah bukit atau tempat yang bisa memberikan kematian atau kesialan yang menandakan bahwa tempat ini sudah ditinggalkan sebagai tempat suci agama Buddha.
Dilansir dari laman Balai Konservasi Borobudur, Candi Borobudur ditemukan pada tahun 1814 ketika Sir Thomas Stamford Raffles.
Saat itu, Sir Thomas Stamford Raffles yang merupakan Gubernur Jenderal Inggris yang menjadi wali negara Indonesia mengadakan kegiatan di Semarang.
Raffles yang mendapatkan informasi bahwa di daerah Kedu telah ditemukan susunan batu bergambar mengutus Cornelius, yang merupakan seorang Belanda untuk membersihkannya.
Pekerjaan ini dilanjutkan oleh Residen Kedu yang bernama Hartman pada tahun 1835.
Disamping kegiatan pembersihan, Raffles juga mengadakan penelitian khususnya terhadap stupa puncak Candi Borobudur, namun laporan penelitian ini tidak pernah terbit.
Pendokumentasian berupa gambar bangunan dan relief candi dilakukan oleh Wilsen selama 4 tahun sejak tahun 1849, sedangkan dokumen foto dibuat pada tahun 1873 oleh Van Kinsbergen.
Dilansir dari laman Gramedia.com, Sejarawan dan arkeolog sekaligus Ketua Pemugaran Candi Borobudur yang Kedua, Soekmono dalam bukunya berjudul Satu Abad Usaha Penyelamatan Candi Borobudur (1991) menyebutkan bahwa upaya pemotretan relief Borobudur sebenarnya telah dilakukan sejak 1845 oleh juru foto yang bernama Schaefer.
Namun sayangnya hasil foto karya Schaefer dianggap tidak memuaskan, sehingga dokumentasi relief Borobudur digambar secara langsung oleh tangan seorang tentara yang bernama FC Wilsen.
Sementara itu, tulisan yang menjelaskan tentang Borobudur ditulis oleh Brumund disunting hingga disempurnakan oleh Leemans menjadi monografi resmi pada 1873.