NUNUKAN, KOMPAS.com – Pintu palka kapal di pelabuhan Tunon Taka, Nunukan, Kalimantan Utara, baru saja terbuka. Pemandangan unik langsung tersaji dengan banyaknya kuli angkut pelabuhan yang berebutan naik ke atas kapal yang baru bersandar setelah berlayar dari Sulawesi Selatan, dan Indonesia Timur tersebut.
Tak sedikit, para kuli naik dengan bergelantungan melalui jaring tambang yang biasanya ada di samping kapal. Tali jaring tersebut, biasanya digunakan crane untuk mengangkat barang dari truk ke atas kapal.
Mereka tidak sabar menunggu tangga penumpang diturunkan demi mencari penumpang untuk menawarkan jasa angkut barang.
Baca juga: Perjalanan Ali Jadi Kuli Panggul di Stasiun Tawang, Dibayar Rp 10.000 Sekali Angkat Barang
Bahkan sebelum kapal melampar jangkar, mereka sudah berkerumun di dermaga dan membariskan gerobak gerobak barang mereka.
Kasus buruh jatuh atau terpeleset masuk laut akibat naik kapal berebutan, bukan lagi hal aneh di pelabuhan Nunukan, yang juga menjadi pelabuhan untuk kapal kapal dari Tawau, Malaysia ini.
"Para buruh butuh uang sampingan, dan membawakan barang barang penumpang itu waktu istimewa buruh. Mereka bisa menentukan harga sendiri, dan uang yang didapat, semua masuk kantong pribadi," ujar Rahman, salah satu mandor buruh angkut di Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan, Jumat (17/3/2023).
Rahman (45) yang sudah bekerja di Pelabuhan Tunon Taka sejak 1999 ini menuturkan, suasana pelabuhan Tunon Taka saat ini, sudah sangat jauh berubah ketimbang dulu.
Penghasilan buruh juga menurun drastis karena banyak regulasi pelabuhan telah diterapkan. Di satu sisi, implementasi aturan adalah baik untuk ketertiban, keamanan dan kenyamanan di pelabuhan. Namun di sisi lain, menimbulkan keluhan dan gerutuan para buruh.
Dulunya, kapal-kapal perdagangan tradisional dari Malaysia, masih bisa bersandar di Tunon Taka, jasa buruh juga belum sebanyak saat ini yang mencapai lebih 200 orang.
Baca juga: Kisah Kuli Panggul Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Modal Rp 500.000 Ludes, Penumpang Sepi
"Banyak aturan telah diterapkan, termasuk kapal kapal kayu tidak lagi boleh masuk pelabuhan. Hal itu akhirnya mengurangi pemasukan buruh," kata Rahman.
Rahman tidak mau menyebut berapa berbandingan penghasilan buruh dulu dan sekarang. Yang jelas, kata dia, satu gerobak, dia bisa mendapat upah Rp 300.000.
Padahal, tentu saja ia akan bolak-balik untuk mengambil muatan kapal yang baru datang.
Para buruh pelabuhan, mendapat gaji tetap sebulan sekitar Rp 3 juta dari mengangkut barang barang isi kontainer.
"Makanya buruh tidak akan diam ketika bisa cari sampingan. Angkut barang penumpang yang datang itulah saat tepat mencari uang tambahan," kata Rahman.
Menjadi buruh di pelabuhan Tunon Taka, menjadikan Rahman pribadi yang ulet dan tahan banting.
Di mana pun, tutur Rahman, sebuah pelabuhan memiliki kehidupan yang keras dengan banyaknya persaingan dengan rekan seprofesi. Belum lagi harus menghadapi para oknum dengan segudang tipikal dan wataknya.
Baca juga: Becak Berjaya, Kuli Panggul Tak Berdaya...