Berdasarkan pengamatan Pastor Yeskiel di lapangan, warga yang anaknya mengalami campak tidak melakukan pengobatan apapun.
Oleh sebab itu, dia mengimbau para warga untuk membawa anak-anak mereka yang sakit ke pusat paroki.
Kata Yeskiel, “kampung-kampung“ tidak memiliki fasilitas kesehatan dan warga dari berbagai pelosok sulit menjangkau fasilitas kesehatan yang berada di pusat distrik, yaitu di Timeepa.
”Mereka mau datang berobat juga medannya sulit sekali... letak perkampungan cukup berjauhan. Petugas medis juga tidak selalu ada di puskesmas. Dokter tidak ada sama sekali di sini, hanya ada dua Mantri putra daerah, yang juga tidak selalu ada di tempat tugas mereka,“ tambah Yeskiel.
Baca juga: Kapolda Papua Duga Elkius Kobak Dalang Penembakan Dandim dan Anggotanya
Menurut laporan wartawan Yamoye Abeth yang berbasis di Papua Tengah, sejak 2020 Puskesmas Timeepa sudah mengalami peningkatan status puskesmas menjadi Puskesmas Rawat Inap. Namun tidak ada petugas medis seperti dokter, perawat, dan lain-lain.
Begitu juga dengan beberapa puskesmas di wilayah lainnya di Mapia, seperti di Modio dan Abouyaga yang tidak ada petugas melayani.
Sebanyak 14 anak di Paniai dilaporkan mengalami gejala klinis seperti bintik-bintik merah pada tubuh, mata merah, demam, batuk dan beringus.
Dinas Kesehatan Kabupaten Paniai sudah mengirimkan sampel dari anak-anak suspek campak itu ke Surabaya untuk diteliti lebih lanjut.
Dua dari belasan sampel yang dikirim itu berasal dari Dogiyai dan Deiyai, kata Kepala Seksi Jaminan Kesehatan Dinas Kesehatan Dogiyai Isak Waine.
“Yang dikirim itu sudah positif campak,” kata Isak kepada wartawan Yamoye Abeth yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (03/03).
Baca juga: 8 Orang Ditembak di Puncak Papua Tengah, 2 Meninggal, 1 di Antaranya TNI
Meski menurut laporan warga kasus campak sudah menyebar di Kabupaten Dogiyai, Papua Tengah, Isak Waine mengatakan wilayahnya belum mengeluarkan pernyataan kejadian luar biasa (KLB). Di Papua Tengah, baru Kabupaten Mimika saja yang sudah menyatakan KLB campak.
Kabupaten Dogiyai mencatat 16 orang mengalami campak dan itu belum termasuk laporan dari Paroki Kristus Penebus Timeepa di Mapia.
“Untuk kasus sampai saat ini Mapia belum melaporkan ke dinas karena kami di dinas menunggu laporan dari puskesmas,” ujar Isak.
Di sisi lain, Pastor Yeskiel mengaku belum menyerahkan data yang dihimpun oleh parokinya ke pemerintah setempat dengan alasan kesulitan saat bertemu pemerintah.
Baca juga: Apakah Campak dan Penyakit Cacar Air Itu Sama?
Menurut Kemenkes, suatu daerah disebut KLB ketika memiliki minimal dua kasus campak yang sudah dikonfirmasi di laboratorium dan memiliki hubungan epidemiologi.
Pada Januari lalu, Kemenkes melaporkan 12 provinsi mengeluarkan penyataan kejadian luar biasa (KLB) campak.
“Selama tahun 2022 yang lalu, jumlah kasus campak yang ada di negara kita memang cukup banyak lebih dari 3.341 laporan kasus. Kasus-kasus ini menyebar di 223 kabupaten/kota di 31 provinsi,” kata Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan Prima Yosephine, dikutip dari situs resmi Kemenkes.
Jumlah tersebut merupakan akumulasi kasus sejak Januari-Desember 2022. Dibandingkan tahun sebelumnya, Kemenkes menyebut peningkatan yang cukup signifikan sekitar 32 kali lipat.