Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tantan Hermansah
Dosen

Pengajar Sosiologi Perkotaan UIN Jakarta

Mewaspadai Generasi Shortcut dan Nirmoral

Kompas.com - 17/01/2023, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERISTIWA yang terjadi di Sulawesi Selatan di mana dua orang remaja tega menghabisi kawannya sendiri karena ingin menjual organnya tentu membuat banyak pihak merasa prihatin.

Bahkan dalam salah satu wawancara dengan media massa, diperlihatkan dengan jelas wajah dan ekspresi pelaku seperti tidak merasakan dan tidak menunjukkan penyesalan atas tindakannya.

Keadaan ini seperti semakin mempertegas mengapa peristiwa ini bisa terjadi. Mengapa seorang remaja bisa dengan mudah melakukan hal tersebut, dan ketika apa yang dimaksudkannya gagal, pun terekspresikan sebagai kegagalan biasa saja.

Generasi shortcut

Dalam salah satu televisi nasional, penulis mengatakan bahwa apa yang terjadi itu bisa disebut sebagai generasi “shortcut”. Apa itu generasi “shortcut”?

“Shortcut” artinya jalan pintas. Istilah ini dikenal biasanya dalam teknologi komputer dan gawai. Dengan adanya shortcut ini maka seseorang yang mau mengakses satu aplikasi atau satu web tertentu bisa lebih mudah dan lebih cepat. Makanya disebut jalan pintas.

Seseorang yang menggunakan fitur shortcut akan terbantu karena dia tidak perlu menghafal kode yang biasanya angka dari satu aplikasi atau web.

Ia cukup mengenali simbol yang ditampilkan dari suatu shortcut. Tentu ini jauh lebih mudah ketimbang menghafal kode-kode angka yang menjadi dasar dari satu pemrograman dalam teknologi.

Maka, yang disebut dengan generasi shortcut adalah generasi yang kemudian selalu berhasrat mendapatkan jalan pintas pada apa yang ingin mereka capai.

Mereka tidak mau bersusah payah untuk menempuh proses serta metode yang rumit. Karena dalam anggapan mereka proses dan metode itu lebih baik dikerjakan sama yang lain.

Generasi shortcut juga umumnya adalah generasi pengguna atau user. Mereka bukan pencipta atau creator. Mereka juga lebih banyak sebagai konsumen ketimbang produsen.

Lalu, adakah hubungan dari peristiwa yang terjadi di Sulawesi Selatan itu dengan realitas generasi shortcut?

Kita bisa melihat korelasinya pada sejumlah fakta yang terlihat di lapangan. Misalnya alasan pelaku menghabisi korbannya di antaranya ingin menjual organ tubuhnya agar mendapatkan fresh money yang besar dengan mudah.

Dengan kata lain, ia melihat bahwa menjual organ tubuh temannya adalah shortcut untuk mendapatkan uang banyak.

Nirmoral

Lalu, mengapa dia bisa tega melakukannya, bahkan pelaku membuat desain perencanaan yang rapi sebelum dia mengeksekusi korban.

Hal lain yang juga berkontribusi pada generasi shortcut adalah hilangnya nilai-nilai kebaikan bersama atau moral dalam kehidupannya.

Bisa saja pikiran-pikiran jalan pintas seperti itu sebenarnya dalam posisi yang netral. Karena menjadi manusiawi juga jika seseorang mau mendapatkan sesuatu menggunakan jalan pintas.

Artinya, ketika seseorang berkehendak pada sesuatu yang jika kemudian bisa didapatkan dengan jalur lebih cepat, mengapa harus menempuh jalur lebih kompleks dan rumit. Kira-kira begitulah dalam perspektif generasi saat ini.

Pikiran seperti itu kalau hadir dalam konteks memanfaatkan teknologi bisa jadi tidak terlalu bermasalah, bahkan kadang bagus.

Karena seperti kita ketahui untuk mendapatkan kenyamanan dari suatu fitur teknologi, publik dimanjakan dengan adanya shortcut ini.

Bahkan, tidak terbayang jika saja masyarakat pengguna teknologi justru harus menghafal ribuan nama dan kode agar dia bisa mengakses suatu informasi di dunia Internet. Maka, dalam konteks ini shortcut adalah solusi efisien untuk menuju tujuan tersebut.

Prinsip shortcut menjadi berbahaya jika diaplikasikan pada cara pandang lain. Misalnya mendapatkan fresh money tadi.

Di sinilah nir moral atau ketiadaan moral dalam seseorang akan membantu dia melakukan tindakan.

Moralitas adalah satu cara pandang dan keyakinan yang melekat pada seseorang yang kemudian membuat dia bisa melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan karena pertimbangan tertentu.

Misalnya, seseorang yang berkesempatan mengambil barang milik orang lain tidak jadi melakukannya karena dalam hatinya sudah tumbuh keyakinan dan kesadaran bahwa tindakan itu selain merugikan orang lain, juga bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan umum yang melekat pada dirinya.

Mencuri bukan hanya merugikan mereka yang kehilangan, tapi juga merugikan diri sendiri. Karena dengan mencuri berarti dia melupakan satu upaya yang jauh lebih bernilai dan berakhlak.

Ketika seseorang tidak lagi melihat bahwa sebuah tindakan yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, contoh dalam kasus di Sulawesi Selatan, adalah tindakan menghilangkan nyawa seseorang dengan sengaja.

Tindakan ini tentu saja membuat keluarga yang ditinggalkan berduka. Sementara pelaku terlihat merasa itu biasa-biasa saja, setidaknya itu yang terlihat secara visual di salah satu media. Maka, tindakan itu bisa disebut sebagai keputusan yang nirmoral.

Maka, respons publik terhadap tindakan remaja tersebut memang cukup keras. Tidak sedikit yang mengusulkan bahwa remaja tersebut diberi hukuman mati.

Usulan ini bisa dibaca sebagai sebuah ekspresi kemarahan bukan hanya pada level tindakan merugikan keluarga yang kehilangan, melainkan juga pada tindakan yang tidak berperikemanusiaan.

Padahal, kita tahu tindakan yang berperikemanusiaan adalah salah satu dari prinsip dasar dibangunnya dan ditegakkannya Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI.

Sehingga, tindakan nirmoral yang direspons dengan sangat keras ini bisa jadi juga buah dari kegeraman publik atas perilaku yang sangat tidak beradab ini.

Namun, jika kita telusuri lebih dalam mengapa remaja tersebut tega ngambil tindakan shortcut itu, selain karena persoalan hilangnya aspek-aspek moralitas dalam keputusan tindakannya, bisa jadi karena ia mempelajari banyak hal dari luar lingkungannya.

Dalam proses belajarnya itu, dia mendapati bahwa pentingnya mempertimbangkan aspek moral dalam suatu tindakan itu tidak ada lagi.

Dalam benaknya, yang penting dalam kehidupannya adalah terpenuhinya hasrat yang diinginkannya, yakni mendapatkan uang dengan cara yang lebih cepat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com