AMBON, KOMPAS.com - Warga Desa Elat dan Bombai di Kecamatan Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku, sepakat mengakhiri konflik.
Kesepakatan damai kedua desa itu ditandai dengan upacara pemasangan hawear atau sasi adat perdamaian oleh tim Dewan Adat Kepulauan Kei.
Baca juga: Jelang Final Piala Dunia, Ribuan Fans Argentina di Saumlaki Maluku Konvoi di Jalan
Warga kedua desa juga menggelar doa bersama yang dipimpin tokoh agama Islam, Kristen Katolik, dan Kristen Protestan.
Kegiatan doa bersama berlangsung di dua tempat berbeda, yaitu di Desa Elat dan Desa Erlarang Ratshap UB Ohoi Faak, Kecamatan Kei Besar, Malra, Sabtu (17/12/2022).
Pemasangan sasi adat dan doa bersama itu pun menandai berakhirnya bentrokan yang ikut melibatkan sejumlah desa di wilayah tersebut.
Upacara adat yang menandai perdamaian dua desa itu juga dihadiri Bupati Maluku Tenggara Thaher Hanubun, Kapolres Maluku Tenggara AKBP Frans Duma, Dandim 1503 Tual Letkol Inf Arfah Yudah Prasetya, Danlanal Tual Kolonel Laut Indra Darma, dan Danlanud Tual Letkol Pnb Ruli Surya.
Selain itu, acara tersebut dihadiri Ketua MUI Maluku Abdullah Latuapo, Uskup Diosis Amboina Mgr Seno Ngutra, Ketua Klasis Kei Kecil, dan para raja yang tergabung dalam Dewan Adat Kepulauan Kei.
Bupati Thaher Hanubun mengatakan, doa bersama dan pemasangan sasi adat itu dilakukan untuk menghentikan pertikaian antara warga dua desa yang bertikai.
“Siapa saja yang merasa bahwa dia anak Negeri ini ketika sumpah adat ini dilakukan dan dilanggar biarkanlah sampai matahari tenggelam dan membawa dia dan keluarganya,” tegas Thaher dalam sambutannya.
Ia mengaku pemasangan sasi adat ini bukan sasi batas tanah. Namun, sasi adat perdamaian yang dibuat oleh raja agar jangan ada lagi perkelahian atau pertikaian.
“Sasi ini akan dipasang di dua tempat, secara resmi. Di antaranya dipasang di Ngurmas Yamlim, dan satunya lagi di Erlarang dan acara adat ini tidak boleh sampai matahari tenggelam,” ujarnya.
Dengan ritual adat sasi perdamaian itu, siapa pun yang melanggar janji atau kembali berkonflik akan mendapat sanksi adat berupa denda harta sesuai pelanggarannya.
Sasi adat itu juga mengatur jika ada warga yang melanggar sumpah maka akan mendapatkan musibah. Selain itu, warga yang nekat melanggar sumpah akan berhadapan dengan seluruh masyarakat di Pulau Kei.