KOMPAS.com - Mantan pemburu liar mengaku menjerat kaki harimau dengan kawat baja, lalu membunuhnya dengan cara ditembak atau dipukul dengan kayu.
Tak berhenti, mereka mengulitinya dengan tangan dan pisau untuk memisahkan kulit, tulang dan daging.
Terkadang, beberapa dari mereka memakan daging harimau.
Bagian tubuh harimau itu kemudian beredar di pasar gelap dalam bentuk obat tradisional hingga koleksi pribadi para "pemilik mobil mewah".
Sebaliknya, jika selamat, umumnya harimau berakhir cacat yang berujung di jeruji besi taman safari dan kebun binatang.
Ini adalah pengalaman dari mantan pemburu liar yang kecanduan menghabisi ratusan harimau (panthera tigris) di rimba Sumatra.
Baca juga: Soal Dugaan Munculnya Kembali Harimau Jawa di Pegunungan Muria, Ini Penjelasan Aktivis Lingkungan
Artikel ini mengandung foto-foto dan deskripsi yang dapat menganggu kenyamanan Anda.
Juli lalu, sekitar 20 pemburu harimau di rimba Sumatra berikrar tobat. Para mantan penjagal itu mengatakan bertanggung jawab atas lenyapnya lebih dari 200 harimau Sumatra.
Jumlah itu mendekati setengah populasi harimau yang hidup di alam liar Indonesia, yang berkisar di angka sekitar 371 hingga 600-an ekor.
Sebagai upaya penebusan dosa masa lalu, mereka kini membersihkan hutan dari perangkap jerat dan menyadarkan pemburu lain untuk berhenti.
Salah satu mantan pemburu itu adalah Mawi.
Dia mengaku telah memusnahkan ratusan harimau di wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) - Situs Warisan Dunia UNESCO yang melintasi empat provinsi di Sumatra.
"Saya telah membunuh harimau kurang lebih 150 ekor. Boleh dibilang terbanyak di sini," katanya.
Baca juga: Dinyatakan Punah Tahun 1980, Harimau Jawa Diduga Muncul dan Memangsa 4 Kambing Warga Jepara
Jumlah itu lebih besar dari total perkiraan harimau yang masih hidup di TNKS, sekitar 93-130 ekor, dan menjadi habitat terbesar predator puncak itu di Pulau Sumatra.
Mawi dan mantan pemburu lain kini menanti rangkulan tangan pemerintah yang mengatakan telah menyiapkan program pemberdayaan agar tidak lagi kembali ke dosa masa lalu.
Jejak-jejak darah perburuan liar adalah salah satu ancaman terbesar yang membawa harimau Sumatra berada di ambang kepunahan.
Dua saudaranya, di Jawa dan Bali telah menjadi korban yang kini tinggal sejarah dan dikenang lewat kulit hingga tulang di museum.
Dalam tiga tahun terakhir, setidaknya sepuluh harimau Sumatra meregang nyawa akibat ulah manusia. Tiga di antaranya adalah seekor induk dan dua anaknya yang tewas mengenaskan akibat jerat di Aceh Timur, April lalu.
Belum lagi, mereka yang mati dalam sunyi.
Baca juga: Startup Asal Sumsel Buat Project NFT Dukung Konservasi Harimau Sumatera
Selain perburuan liar, harimau Sumatra juga harus menghadapi kerusakan hutan, konflik dengan manusia, hingga berkurangnya jumlah mangsa.
Harimau Sumatra, yang melebur dalam identitas masyarakat lokal dan ikon Indonesia di dunia, kini semakin tersudut di rumahnya sendiri dan ancaman kepunahan disebut berada di depan mata.
Agustus lalu, wartawan BBC News Indonesia Raja Eben Lumbanrau bertemu dengan para mantan pemburu itu untuk melihat pertobatan mereka dan bagaimana upaya perlindungan harimau Sumatra dari jerat pembunuh.
"Nama saya Mawi," ia memperkenalkan diri.
Para pemburu yang lain biasa menyebutnya 'datuk', sebutan untuk orang yang dituakan.
Saya bertemu dengannya di Sarolangun, Jambi, Jumat (5/8/2022) setelah melalui lima jam perjalanan mobil dari Kota Bengkulu.
Saat berbincang di rumahnya, Mawi berkali-kali menggaruk kedua kakinya yang gatal dan terlihat jelas ruam.
"Sudah segala obat dipakai, namun tidak sembuh. Mungkin ini karma akibat pasang jerat harimau yang melukai kaki," katanya.
Baca juga: Pekerja Distrik Merawang Bertaruh Nyawa saat Diserang Harimau
Awalnya, ia mengaku membunuh harimau untuk melindungi desa dari serangan binatang tersebut.
Namun dalam perkembangannya, Mawi jadi kecanduan. Apalagi, ia tergoda dengan penghasilan dari penjualan harimau.
"Saya telah membunuh harimau kurang lebih 150 ekor. Boleh dibilang saya adalah mantan pemburu terbanyak yang masih hidup di sini," katanya.
Mawi mengaku menjagal harimau dari tahun 1971, hingga akhirnya berhenti di akhir tahun 2017.
Terbanyak dalam satu bulan, dia mengingat, pernah membunuh enam harimau. Bahkan, dalam satu tahun sekitar 20 ekor harimau tewas di tangannya.
Lalu apa buktinya? Mawi menjawab, "Jika tidak percaya, silakan tanya orang-orang kampung, dan saya jelaskan semua yang saya tahu."
Baca juga: Kisah Adi, Terbangun dan Lihat Harimau Berjarak 2 Meter Darinya, Bergulat hingga Selamat
Dengan lancar Mawi menjelaskan sebagian besar pengalamannya. Ia merinci nama pembeli, tempat penjualan hingga proses memburu dan menguliti harimau.
"Saya menjual kulit, tulang dan taring harimau dari harga Rp 30.000 hingga terakhir Rp 17 juta," ujarnya sambil menyebut nama-nama oknum dari wilayah Sumatra Selatan, Jambi, hingga Bengkulu.
Terakhir kali di tahun 2017, Mawi mengaku menjual kulit, tulang, hingga taring harimau ke seseorang dari Curup, Bengkulu.
"Orang yang mau harimau banyak sekali. Terakhir, ada petugas yang melarang berburu dan melindungi harimau, malah membeli dari saya," kata Mawi.
Mawi telah menjual hasil buruannya kepada beberapa pengepul dan toko yang ada di Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Jambi.
"Kulit harimau direndam dalam spiritus agar tidak busuk lalu dibawa ke pembeli," katanya.
Baca juga: Pria di Riau Tangkap Harimau Sumatera dengan Cara Dijerat, Tulangnya Dijual
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.