Sebuah jurnal berjudul Muncul dan Pecahnya Sarekat Islam di Semarang 1913-1920 yang ditulis Endang Muryanti menyebut, Semaoen mempunyai pandangan berbeda dengan SI pusat terkait dewan perwakilan rakyat atau Volkstraad.
Saat itu SI pusat menginginkan adanya dewan perwakilan rakyat (Volkstraad), namun SI Semarang khususnya Semaoen yang beraliran radikal tidak senang dengan keputusan tersebut.
Menurut Semaoen, adanya Volksraad sama saja dengan bekerja sama dengan Pemerintah Kolonial Belanda yang dia anggap sebagai penjajah.
Dalam Kongres Nasional Sarekat Islam ketiga di Surabaya pada 29 September–6 Oktober 1918, pengaruh Semaoen semakin luas.
Baca juga: Mengapa Hoaks dan Isu PKI Masih Laku untuk Propaganda Politik?
"Semaoen mulai mengoordinir kaum buruh dan tani melalui sentral Sarekat Pekerja," jelasnya.
Semaoen yang beraliran radikalis sosialis revolusioner membuat Sarekat Islam Semarang mempunyai dua kubu, yakni kubu Semaoen dan kubu Abdoel Moeis.
Semaoen lebih radikal sedangkan Abdoel Moeis lebih kooperatif. Pertentangan antara Semaoen dengan Abdoel Moeis dalam masalah Volkstraad dan perbedaan pandangan mengakibatkan perpecahan dalam tubuh Sarekat Islam itu sendiri.
"Sejak saat itu muncul istilah SI Putih dengan pimpinan Cokroaminoto yang diteruskan Abdoel Moeis dan SI Merah yang dipimpin Semaoen dan Darsono," kata sejarawan Unnes tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.