"Pasti ini akan berdampak pada mereka yang rentan dalam situasi tertentu. Jadi kasus ini, diakibatkan karena adanya kuasa yang timpang, dan budaya patriarki, bahwa laki-laki bisa melakukan yang seolah-olah dia bisa berkuasa terhadap tubuh seseorang," tutur dia.
Pihaknya juga menyoroti dugaan kasus pencabulan yang terjadi di salah satu pesantren di Kabupaten Bandung beberapa waktu lalu.
Menurutnya, kejadian di pesantren kerap terjadi. Modusnya rata-rata dikaitkan pada pemahaman agama.
"Tapi bisa jadi pendidikan berbasis agama, itu bisa jadi yang terdepan terkait kasus seperti ini, apalagi ditambah dengan dogma-dogma agama dengan interpretasi tertentu. Misalnya kepatuhan yang dikaitkan dengan berkah keilmuan dan sebagainya," ucap dia.
"Inikan siswa ataupun santriwati bisa jadi takut jika tidak mengikuti kemauan oknum tersebut," tambah Antik.
Dugaan kasus tersebut merupakan fenomena gunung es. Sebetulnya, warga sudah mengetahui sejak lama maraknya kasus pencabulan di dunia pendidikan.
"Tapi mungkin dengan bantuan sosmed, beritanya lebih cepat tersebar. Kalau semisal informasi terkait pencabulan saya yakin sudah lama terjadi," jelasnya.
Selain karena korban kerap mendapatkan intimidasi dari lingkaran pelaku. Pihaknya menyebut masih minimnya sosialisasi aturan terkait kekerasan seksual.
Pemerintah sudah mengeluarkan banyak Undang-undang terkait perlindungan anak, serta Undang-undang dan sistem pendidikan yang baik.
Namun hingga kini, masih jarang ditemui lembaga pendidikan mensosialisasikan aturan tersebut.
"Banyak yang menganggap aturan itu tidak menjangkau institusi pendidikan. Padahal kalau dikaji masih mencakup juga, terbaru ada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)," kata Antik.
Terakhir, lembaga pendidikan termasuk pesantren masih jauh dari kategori ramah anak dan gender.
"Dulu kementerian punya program seperti itu, sekolah/pesantren ramah anak tapi hingga saat ini masih belum terdengar perkembangannya. Nah kalau ini tidak diterapkan bisa jadi budaya kekerasan seksual seperti ini malah dilanggengkan," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.