BANDUNG, KOMPAS.com - Angka kekerasan perempuan dan anak di Kabupaten Bandung mengalami peningkatan.
Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak ( P2KBP3A), Muhammad Hairun menyebut, pada 2020 terdapat 82 kasus kekerasan perempuan dan anak. Jumlah ini naik di 2021 menjadi 85 kasus.
"Untuk tahun 2022 masih dalam pendataan belum tercover semua," ujar Hairun kepada Kompas.com, Kamis (25/8/2022).
Baca juga: Siswi SMK Korban Pencabulan Camat di Riau Trauma Berat, Pingsan Setiap Lihat Laki-laki
Sementara data yang diterima Kompas.com dari Kepala Bidang Perlindungan Anak Dinas DP2KBPP, Fitri pada Sabtu (23/7/2022) lalu, kasus kekerasan terhadap anak di Kabupaten Bandung pada tahun 2022 meningkat.
Hingga bulan Juni, terdapat 124 kasus menyangkut tentang anak. Kasus tersebut berupa kekerasan terhadap anak atau pelecehan seksual.
Melihat hal itu, Peneliti Pusat Riset Gender dan Anak Universitas Padjadjaran (Unpad), Antik Bintari mengatakan, ruang publik di Indonesia masih belum aman.
Baik sekolah, kampus, atau apapun yang disebut sebagai lembaga pendidikan, termasuk pesantren belum masuk kategori aman.
"Karena sejauh ini, banyak terjadi hal-hal yang sifatnya mengerikan juga seperti pelecehan dan kekerasan seksual," tutur Harun dihubungi Kamis (28/8/2022).
Baca juga: 20 Santriwati Dicabuli Pimpinan Pondok Pesantren di Katapang Bandung, Polisi: Masih Proses Lidik
Antik mengungkapkan, pelecahan termasuk dalam budaya kekerasan. Budaya tersebut, sambung dia, diawali dengan adanya relasi kuasa yang timpang.
"Jadi pasti ada suatu kelompok yang memiliki kekuatan untuk melakukan sesuatu yang dianggap dia bisa lakukan," jelasnya.
Budaya tersebut, bisa tergambarkan dalam lingkungan pendidikan. Hingga kini, sambung dia, guru, dosen, atau ustad dianggap sebagai relasi kekuasaan dan dianggap paling mampu melakukan hal itu.
Situasi kuasa yang timpang ini, kemudian disalahgunakan sebagian oknum untuk isu seperti ini.
"Yang biasanya dianggap sebagai orang yang dituakan itukan otomatis punya kuasa yang lebih tinggi. Dia punya kuasa, yang mungkin anak-anak pun tidak akan menolak jika mereka meminta sesuatu, karena ketakutan," jelas Antik.
Baca juga: Jadi Tersangka Dugaan Kekerasan Seksual, Guru Besar UHO Kendari Akan Diperiksa Senin Depan
Dalam perspektif kuasa yang lebih tinggi, sambung dia, kelompok perempuan, anak, lansia serta disabilitas adalah kelompok rentan yang sering kali menjadi sasaran pemilik kuasa tinggi tersebut.
Apalagi, jika pemilik kekuasaan tersebut adalah laki-laki yang dalam budaya patriarki dianggap gender yang paling tinggi.