Peci, penanda sosial
Rama Kertamukti, Dosen Ilmu Komunikasi FISHUM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menulis di masa penjajahan, Kolonial berusaha hendak memengaruhi kostum lelaki di Jawa.
Dalam penelitian Jean Gelman Taylor tentang interaksi kostum Jawa dan kostum Belanda pada periode 1800-1940, ada pengadopsian bagian-bagian tertentu pakaian Barat.
Pria Jawa yang dekat dengan Belanda mulai memakai pakaian gaya Barat.
Menariknya, blangkon atau peci tak pernah lepas dari kepala mereka. Konon kata peci sendiri berasal dari bahasa Belanda, yaitu pet (topi) dan je (kecil).
Peci di Indonesia menjadi simbol perlawanan, sebuah kesederhanaan untuk membentuk pola kesimbangan dalam masyarakat yang mementingkan material.
Baca juga: Mengapa Bung Karno Ngotot Proklamasi Kemerdekaan Tanggal 17 Agustus?
Warna hitam dipilih karena dalam psikologi warna mempunyai rangsangan sifat emosi manusia yang kuat dan mempunyai keahlian walau diartikan resmi atau formal.
Warna hitam juga menandakan sifat tegas, kukuh, formal, dan struktur yang kuat. Sementara itu, bentuk melingkar mengikuti bentuk kepala menandakan bentuk peci yang luwes dan menjadi pola kesederhanaan.
Kini, peci dipakai dalam acara-acara resmi kenegaraan maupun keseharian muslim di Indonesia, seperti upacara perkawinan, Lebaran, dan ibadah shalat.
Peci tak lagi menjadi tanda kemusliman dan kesalehan seseorang. Kini, ia menjadi busana formal. Kini peci bukan hanya identifikasi bagi seorang muslim, pembeda dengan penjajah,
simbol kekuasaan, ataupun simbol nasionalisme.