Dikutip dari Kompas.com, pemaksaan perkawinan atas dasar aturan adat sampai saat ini masih kerap terjadi, tidak hanya di Lombok tetapi juga di gugusan pulau Nusa Tenggara yang lain hingga ke Sumba di Nusa Tenggara Timur.
Di wilayah tersebut ada istilah kawin culik untuk Lombok Timur. Sedangkan di Sumba dikenal sebagai kawin tangkap.
Semua ini berinti pada pernikahan paksa yang digelar atas tuntutan adat. Di Sumba, tradisi pemaksaan perkawinan juga ada dalam bentuk yang berbeda.
Unsur kekerasan dari laki-laki hadir dalam adat yang populer sebagai kawin tangkap.
Dalam sejumlah praktiknya, menurut Pendeta Aprissa L. Taranau, kawin tangkap terjadi ketika seorang laki-laki menangkap dan bahkan bisa bermakna menculik perempuan untuk dijadikan istrinya secara paksa.
Baca juga: Soal Kawin Tangkap di Sumba dan Budaya Kekerasan terhadap Perempuan...
Aprissa adalah Ketua Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi dan tinggal di Sumba.
Setiap hari, dia mengambil pendekatan keagamaan untuk mengikis praktik kawin tangkap ini.
“Sangat berlapis perjuangan kami disini, karena bukan saja berhadapan dengan kekerasan seksual itu sendiri, tetapi karena diatasnamakan sebagai tradisi, adat atau budaya sehingga sangat sulit dihilangkan,” kata Aprissa.
Secara budaya, kata Aprissa, konteks kawin tangkap adalah pernikahan yang dilakukan tanpa proses melamar.
Dari berbagai sumber tertulis, lanjutnya, budaya ini memang ada di Sumba.
Sayangnya, tradisi ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai kawin tangkap. Di masyarakat, khususnya anak muda, kemudian muncul pemahaman bahwa tradisi ini dilakukan dengan seenaknya menangkap seorang perempuan dan memaksanya untuk menikah.
Baca juga: Viral Video Perempuan Ditangkap di Sumba Diduga Kawin Tangkap
“Kekerasan yang dialami perempuan berlapis, ditarik, dipaksa, dipukul kalau melawan. Kekerasan seksual juga karena ada pelecehan seksual, ada permaksaan perkawinan. Ada kekerasan psikis,” tambah Aprissa.
Di Sumba, Aprissa berjuang mengubah paradigma masyarakat yang mempertahankan praktik adat tersebut.
Dia mengaku, gereja memiliki pekerjaan rumah untuk memberi pemahaman masyarakat mengenai nilai kesetaraan.
Mereka juga terus bersuara, dengan harapan pemerintah mendengarkan suara korban, sehingga tergerak untuk membuat payung hukum yang mampu menghentikan tradisi ini.
Baca juga: Cegah Pernikahan Dini, Bupati Luwu Utara Tandatangani Pakta Integritas Pencegahan Perkawinan Anak
Sampai saat ini, kata Aprissa, jika kasus sejenis terjadi, penegak hukum cenderung melihatnya persoalan adat.
“Selalu dibenturkan dengan pernyataan, bahwa ini adat dan dikembalikan ke keluarga, biar nanti mereka yang mengurus,” pungkasnya.
SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Sigiranus Marutho Bere | Editor : Gloria Setyvani Putri, Dheri Agriesta)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.