BIMA, KOMPAS.com - Situs Wadu Pa'a merupakan salah satu peninggalan sejarah tertua di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sayang, kondisinya terbengkalai. Nyaris tak ada wisatawan yang mau menyinggahi tempat ini sejak beberapa tahun lalu.
Situs ini sempat digadang-gadang menjadi destinasi wisata sejarah kebanggan di NTB. Namun, kondisi Situs Wadu Pa'a belum sesuai dengan ekspektasi sejak awal ditemukan. Padahal, situs tersebut dianggap memiliki potensi peninggalan sejarah yang harus dilestarikan.
Situs Wadu Pa'a terletak di Desa Kanta, Kecamatan Soromandi, tepatnya sekitar 43 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten Bima. Situ itu telah ditetapkan menjadi cagar budaya.
Kawasan ini merupakan bagian dari sisi barat laut Teluk Bima, yang menghadap ke lautan lepas. Pemandangan di Teluk Sowa berhias tebing yang berbatasan langsung dengan ombak yang mengalun tenang. Keberadaan situs ini juga terlindungi oleh tiupan angin dan gelombang laut.
Baca juga: Kisah Situs Candi Bojong Menje: 20 Tahun Tak Ada Perkembangan dan Terbengkalai
Akses tak terawat
Saat Kompas.com mengunjunginya, Minggu (12/6/2022), situs itu tampak sepi. Sebenarnya, situs ini relatif mudah dijangkau dengan menggunakan kendaraan roda dua. Hanya saja, akses jalan masuk ke situs ini tidak terawat dengan baik.
Akses jalan itu belum diaspal dan tak layak dilalui sehingga licin dan berlumpur setelah diguyur hujan. Jalan rusak itu hampir sepanjang 200 meter. Jalan menuju candi ini berupa turunan yang lumayan curam dan hanya bisa dilewati kendaraan roda dua.
Baca juga: Simak, Pendaftaran PPDB SMA/SMK di Banten via Situs Web Masing-masing Sekolah
Keberadaan Candi Wadu Pa'a ini cukup strategis, karena lokasinya tidak jauh dari jalan utama lintas Soromandi. Hanya sekitar satu jam dari pusat Kota Bima dan juga beberapa menit dari Desa Kananta.
Setelah menghadapi jalan yang buruk, di kawasan candi tebing ini terdapat situs-situs sejarah yang menarik untuk diungkap. Namun, kesan tidak terawat alias terbengkalai begitu kental ketika memasuki kawasan tersebut.
Warga setempat menjulukinya Wadu Pa'a yang bermakna batu berpahat. Dalam bahasa Suku Mbojo, batu pahat terbagi menjadi dua kata, yakni wadu dan pa'a. Wadu artinya batu dan pa'a artinya pahat. Jadi, Wadu Pa'a adalah batu yang dipahat.
Ukiran-ukiran pada Wadu Pa'a mengandung nilai historis yang sangat tinggi karena media ukirannya bukan batu biasa. Melainkan, tebing-tebing batu yang berbentuk stupa.
Dalam area situs tersebut, terdapat beberapa bagian tebing memiliki berbagai arca, prasasti, persis seperti relief yang ada di Candi Borobudur. Biasanya, menggambarkan kisah-kisah mengenai agama Hindu dan Buddha.
Sebagian warga menduga bahwa bagian tebing yang telah dihiasi relief klasik itu pernah dijadikan sebagai tempat ibadah atau pertapaan oleh para leluhur di kala itu.
Baca juga: Bupati Sukoharjo Tetapkan Tembok Benteng Keraton Kartasura yang Dijebol sebagai Situs Cagar Budaya
Relief dan arca yang terukir di tebing ini sebagian masih dapat dikenali. Ditebing itu pula terdapat ukiran figur Ganesha, simbol pengetahuan dan kecerdasan.
Ada juga figur Siwa dalam posisi berdiri, seperti pada candi-candi yang ada di Jawa. Namun, sebagian mahakarya di masa lampau ini sudah tidak utuh lagi. Sebagian telah rusak atau rontok kepalanya karena terkikis usia.
Sementara di pojok selatan candi itu dijumpai sebuah ceruk atau gua buatan, yang di dalamnya terdapat beberapa dudukan yang dipahat dalam tebing. Di ceruk itu pula terdapat untaian kata berbahasa Sansekerta yang diukir indah.
Di situs ini juga ditemukan coretan-coretan dengan cat minyak, menjadi bukti bahwa situs ini memang telah banyak dikunjungi oleh para pendatang terutama dari Negara Eropa.
Lingga dan yoni itu berhadapan dengan satu sosok lelaki yang duduk bersila di sudut tebing. Sayangnya, ukiran wajah lelaki itu sudah tak lagi dapat dikenali.
Menurut seorang budayawan Bima, Alan Malingi, candi tebing ini merupakan bagian dari tempat suci berabad silam. Bentuk ukiran pun mengisyaratkan bahwa candi tebing Wadu Pa'a adalah peninggalan agama Buddha dan Hindu pada masa itu.
"Wadu Pa’a ini utamanya untuk pemujaan yang mengandung unsur Buddha dan Hindu. Jika dilihat dari gaya pahatannya, mungkin dibuat pada masa Majapahit atau sebelumnya," kata Alan Malingi.
Baca juga: Dibayar Rp 4 Juta untuk Promosikan Situs Judi Online, Selebgram di Palembang Ditangkap Polisi
Karena kondisi situs yang sudah tidak terawat, kini aksara yang terpahat dalam situs sudah terkikis yang akhirnya sulit terbaca. Sehingga, pendapat mengenai berbagai ukiran mengandung unsur Buddha dan Hindu itu perlu ditinjau ulang demi memastikan kebenarannya.
Tidak banyak catatan sejarah mengenai siapa yang membangun tempat pemujaan itu. Namun, warga Bima mempunyai keyakinan bahwa pahatan-pahatan ini merupakan karya Sang Bima, seorang musafir dari bangsawan Jawa.
Baca juga: Situs Pandegong di Jombang, Berbentuk Candi, Diduga Dibangun Abad ke-10 Masehi
Konon, pada masa lampau, tepatnya pada abad ke-11 pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, candi tebing ini dipahat dua orang bersaudara yakni Indra Zamrud dan Indra Komala yang merupakan anak Sang Bima, bangsawan dari Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur. Dua anak itu merupakan buah dari perkawinan dengan salah satu putri seorang ncuhi atau kepala suku.
Saat itu, Sang Bima hendak meninggalkan tanah Bima, dia didatangi oleh para ncuhi untuk diminta kesediaan menjadi pemimpin tanah Bima.
Pada saat itu, Sang Bima sedang memahat tebing kaki bukit Lembo, Dusun Sowa, Desa Kananta, yang akhirnya tenar dengan sebutan Wadu Pa'a.
Peninggalan sejarah ini memiliki arti penting sebagai bukti peristiwa bersejarah yang terjadi di masa lalu, dan sebagai sumber belajar untuk mengenal Indonesia dari masa ke masa.
Sebelumnya, Candi Wadu Pa'a telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Situs itu dibawah penanganan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Denpasar di Bali. Sementara pemeliharaannya menjadi kewenangan Pemda Bima.
Meski telah dipagari oleh pemerintah, akhir-akhir ini wisatawan seakan tak tertarik mengunjungi Candi Wadu Pa'a ini.
Beberapa sudut candi terlihat dipelihara ala kadarnya. Sementara di sisi luar candi banyak bangunan dalam kondisi rusak. Seperti pos penjagaan dan pengawasan yang hingga saat ini masih dibiarkan terbengkalai.
Baca juga: Situs Web dan Akun YouTube Diretas, Pemkot Malang Kehilangan Subscriber dan Konten
Sudah bertahun-tahun, pos penjagaan yang dibangun lengkap dengan fasilitas toilet itu dibiarkan terlantar hingga rusak parah. Puing-puing bangunan itu, kini banyak yang berserakan. Yang masih tersisa pada bangun itu hanya dinding tembok setinggi satu meter dengan kondisi yang terlihat kusam.
Tidak hanya itu, kerusakan juga terlihat pada tiang pagar yang melingkari candi tebing. Tiang-tiangnya banyak yang retak dan terlihat sudah keropos, bahkan nyaris ambruk.
Baca juga: Situs Web dan Akun YouTube Diretas, Pemkot Malang Kehilangan Subscriber dan Konten
Di lokasi objek wisata ini pun kurang fasilitas yang memadai untuk para pengunjung. Hanya ada tiga unit gazebo yang tersedia, namun dua di antaranya sudah rusak. Kondisinya sudah keropos dan tidak terawat.
Mantan Kepala Desa Kananta, Aidin mengatakan, situs Wadu Pa'a perlu pembenahan karena banyak fasilitas wisata yang terbengkalai dan juga sampah yang bertebaran, sehingga mengurangi kenyamanan pengunjung.
"Ini aset daerah yang seharusnya segera dibenahi pengelola, karena dikhawatirkan dapat mengurangi minat pengunjung lokal dan luar daerah. Kalau fasilitas penunjangnya tersedia, seperti toilet yang memadai, tempat sampah dan akses jalan yang mendukung, otomatis situs ini akan berkembang. Pendapatan masyarakat di sini juga ikut terbantu," kata Aidin saat ditemui Kompas.com, Minggu.
Dia mengatakan, selama ini nyaris tak ada aktivitas di kawasan wisata andalan Soromandi itu. Sepinya objek wisata ini juga dipengaruhi oleh kurangnya fasilitas dan buruknya infrastruktur jalan.
"Wadu Pa'a ini sebenarnnya ramai pengunjung, itu dulu. Tapi sekarang, semakin hari semakin sepi," jelasnya.
Apalagi, kondisi jalan terbilang sangat ekstrem karena berupa jurang. Selain itu ada beberapa bagian terdapat badan jalan menurun.
"Sekitar 200 meter jalan menuju situs itu perlu diaspal. Jalannya terlalu curam dan penuh material krikil. Bahkan, beberapa titik dekat dengan jurang, sehingga saat hujan sangat berisiko bagi para pengunjung atau pengemudi," ujarnya.
Baca juga: Masuk Daftar Situs Terancam Punah di Dunia 2022, Ini 7 Fakta Menarik Pulau Sumba
Sejauh ini, kata Aidin, belum ada pemungutan retribusi bagi pengunjung. Pengunjung dapat bebas masuk ke lokasi itu.
"Mereka (pengunjung) hanya datang gratis, pulang bawa cerita. Sementara pemasukan untuk daerah dan masyarakat, nihil," pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Bagian (Kabag) Protokol Komunikasi Pimpinan (Prokopim) Sekretariat Daerah Kabupaten Bima, Suryadin, enggan berkomentar banyak saat soal keberadaan situs peninggalan sejarah yang terbengkalai tersebut. Menurutnya, situs itu berada di bawah kewenangan BPCB Denpasar.
"Itu cagar budaya di bawah kewenangan Balai Cagar Budaya Denpasar. Untuk pemeliharaan kita cek dulu bagaimana jalur koordinasi dengan Dinas Dikbudpora," kaya Suryadin melalui pesan singkat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.