Seiring berjalannya waktu, kemampuan Bujang Sembilan menggarap sawah semakin baik dan membawa hasil melimpah.
Sementara Siti Rasani juga tumbuh menjadi remaja putri yang cantik dan baik budi.
Tanpa diduga, karena kerap bertemu tumbuhlah rasa cinta antara Siti Rasani dan Giran.
Setelah memberanikan diri berbicara di depan kedua keluarga, hubungan mereka pun disetujui oleh kedua keluarga.
Hubungan berlangsung baik hingga pada perayaan panen raya, Kukuban dan Giran berhadapan dalam sebuah pertunjukan adu ketangkasan dalam bersilat.
Giran yang menangkis serangan membuat kaki Kukuban patah, sehingga si sulung merasa dipermalukan.
Sejak itu Kukuban menyimpan dendam, hingga pada suatu hari Datuk Limbatang datang untuk menyampaikan niat Giran meminang Siti Rasani.
Kukuban menolak dengan tegas maksud baik itu karena masih merasa dendam pada Giran.
Hal itu membuat Siti Rasani dan Giran sedih, dan memutuskan untuk berdiskusi di pinggir sungai untuk mencari jalan keluar agar mereka bisa menikah.
Sayangnya setelah berdiskusi panjang mereka tidak juga bisa menemukan jalan keluar dan pada akhirnya Siti Rasani memutuskan untuk pulang.
Baru akan beranjak sebuah tanaman berduri merobek sarung yang ia kenakan, pahanya pun terluka.
Sontak Giran segera mencari tanaman obat untuk mengobati kaki kekasihnya.
Tiba-tiba Bujang Sembilan datang bersama warga dan dengan penuh amarah menuduh mereka melakukan hal yang tidak pantas.
Sidang adat pun dilakukan untuk menentukan nasib dua sejoli tersebut, namun Bujang Sembilan terus memojokkan keduanya.
Pembelaan Siti Rasani maupun Giran tidak didengar dan hukuman pun akhirnya dijatuhkan dengn alasan supaya kampung mereka terhindar dari malapetaka.
Keduanya lantas dibawa ke kawah Gunung Tinjau, hukuman yang telah diputiskan adalah Siti Rasani dan Giran harus dibuang ke dalam kawah.