Setelah tekanan demi tekanan itu lah Tjipto Siswojo mau mengembalikan tanah banda masjid yang dipegangnya, yaitu seluas 69,2 hektare.
Penyerahan tersebut dilakukan pada tanggal 8 Juli 2000.
Untuk menandai kembalinya tanah masjid, maka ada usulan untuk menggunakan 10 hektare di Jalan Gajah Raya untuk dibangun masjid pula.
Masjid yang dibangun di atas lahan 10 hektare dari tanah Masjid Agung Semarang inilah yang kemudian menjadi Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT).
Lokasi Masjid Agung Jawa Tengah berada di Jalan Gajah Raya, Sambirejo, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang.
Rute menuju Masjid Agung Jawa Tengah dari Demak (timur) bisa ditempuh melalui Jembatan Genuk lalu Jalan Woltermonginsidi dan menuju Jalan Arteri Citarum.
Sedangkan dari arah Solo (selatan) bisa ditempuh dari Jalan Tol Jatingaleh dan keluar di pintu Tembalang.
Dari pintu tol Tembalang masyarakat bisa mengambil arah kanan ke arah Kaligawe-Demak.
MAJT juga bisa diakses melalui Jalan Kartini Raya, kemudian lewat jembatan Kartini, melalui Jalan Unta Raya dan Jalan Medoho Raya tembus ke Jalan Gajah Raya.
Keistimewaan Masjid Agung Jawa Tengah dapat dilihat dari perpaduan gaya arsitekturnya.
Gaya aristektur masjid ini merupakan perpaduan antara gaya Jawa, Timur Tengah, dan gaya arsitektur Yunani,
Arsitektur Jawa dapat dilihat dari bentuk tajugan di bawah kubah utama.
Arsitektur Tiur Tengah dapat dilihat dari bentuk kubah dan empat menaranya, sedangkan gaya Yunani pada 25 pilar Kolasium yang dipadukan dengan kaligrafi Arab.
Masjid ini diarsiteki oleh Ir Haji Ahmad Fanani, yang mengusung filosofi perwujudan perkembangan Islam di Tanah Air.
Filosofi ini dalam Candrasengkala dapat dirangkai menjadi kalimat “Sucining Guna Gapuraning Gusti”, yang berarti Tahun Jawa 1943 atau Tahun Masehi 2001.