Kaputusan Prabu Rakata ini disepakati oleh kedua puteranya.
Lalu, Prabu Rakata menyepi dengan membawa sebuah guci kesayangan Prabu Rakata.
Beberapa tahun kemudian, saat Prabu Rakata masih menyepi, terjadi perang saudara antara kedua puteranya.
Peperangan itu terjadi karena Raden Sundana menyerang kerajaan milik Raden Tapabaruna untuk merebut dan menguasai wilayah.
Prabu Rakata mengetahui peperangan yang terjadi diantara kedua puteranya, ia segera mengakhiri pertapaan dan kembali ke kerajaan.
Baca juga: Terjadi 33 Kali Gempa Susulan di Selat Sunda, Ini Penjelasan BMKG
Prabu Rakata memanggil kedua puteranya, ia marah. Lalu, kedua puteraya diminta untuk berdiri di kekuasaan wilayah masing-masing dengan pasukan dibelakangkanya.
Prabu Rakata menyiram air dalam guci yang telah diisi air laut ke permukaan bumi, tepat di tengah-tengah kedua puteranya.
Lalu, guci diletakkan di tengah-tengah. Dengan guci itu, daratan terbelah.
Bumi bergetar dengan hebat hingga membentuk celah jurang.
Bumi semakin bergetar yang rekahannya merambat ke arah utara dan selatan sampai keduanya bertemu di ujung laut utara dan selatan.
Sehingga, sebuah selat terbentuk yang kemudian dinamakan Selat Sunda. Selat ini sebagai peringatan atas perbuatan putranya Raden Sundana.
Guci yang ditinggalkan berubah menjadi gunung yang diberi nama Rakata atau yang dikenal Krakatau.
Peristiwa dalam cerita tersebut menjadi awal sejarah terbentuknya Selat Sunda.
Baca juga: Gempa Banten Berpusat di Laut, Ini Sejarah Gempa dan Tsunami Selat Sunda
Sedangkan, guci berubah menjadi Gunung Krakatau.
Kisah legenda ini menjadi kepercayaan masyarakat.