Karena perjalanan ke sekolah tak mudah, terkadang Valen bersama beberapa temanya sering terlambat mengikuti pelajaran, namun itu dimaklumi para guru di sekolah.
Di sekolah terpencil ini Calen bersama 43 siswa lainnya. Setiap hari mereka belajar dengan 3 ruang kelas yang berukuran 3x5 meter.
Tak ada yang istimewa, sekolah darurat ini dibuat dari papan kayu beratap seng.
Para siswa belajar sambil beralaskan tanah pasir bercampur bebatuan.
Karena jumlah bangku dan kursi terbatas, para siswa sering terlibat memperebutkan kursi dan meja di sekolah ini.
Siswa yang datang terlambat harus relah berdesakan atau berdiri di samping kelas saat belajar.
Ruangan kelas lima dan kelas 6 misalnya, terpaksa dibagi dua.
Satu sisi ruangan digunakan kelas lima, sedang sisi ruangan lainnya digunakan kelas enam. Umumnya guru di sekolah ini mengajar dua kelas sekaligus.
Sekolah yang didirikan sejak tahun 2014 sekolah ini di bangun atas swadaya masyrakat setempat.
Baca juga: Cerita Haru Kakek Beddu di Mamuju Tengah, Punguti Ceceran Beras di Jalan untuk Dikonsumsi
Warga yang khawatir masa depan pendidikan anaknya di pedalaman terpencil sepakat mendirikan sekolah darurat.
Meski baru beberapa tahun berdiri, sekolah ini telah berhasil mencetak sejumlah siswa berprestasi.
Salah satunya adalah Suranil yang kini diangkat menjadi guru honorer untuk mengajar di sekolah ini bersama seorang guru ASN.
“Ya kondisinya seperti ini cukup miris. Lantainya masih tanah pasir, kursi dan bangkunya tidak cukup. Sekolah masih terbuat dari dinding kayu,” kata Sukarnil.
Karena sekolahnya berada di tengah hutan, ular sering jadi ancaman. Kejadian itu sudah berlangsung beberapa kali.
“Pernah waktu siswa sedang belajar ada ular di dinding sekolah. Suasana belajar yang tadinya tenang mendadak jadi riuh karena ada ular mengintip,” kata Surnil.