Salin Artikel

Kisah Siswa Daerah Terpencil di Mamuju Tengah Harus Berhadapan dengan Ular, Monyet hingga Babi Hutan, demi Sekolah

MAMUJU TENGAH, KOMPAS.com – Demi bersekolah dan menggapai cita-citanya, anak-anak di pedalaman terpencil di Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, rela berjalan kaki ke sekolah hingga belasan kilometer, setiap hari.

Para siswa tak hanya berjuang menaklukkan medan pegunungan, hutan belantara, jalan terjal hingga muara sungai yang kerap meluap, namun juga harus menguji nyali menghadapi ancaman predator seperti ular berbisa, monyet hingga babi hutan.

“Biasa kalau dihadang binatang buas di jalan seperti ular, monyet atau babi hutan, kita biasanya hanya diam di tempat dan tidak bereaksi berlebihan sampai binatang tersebut pergi meninggalkan tempatnya,” tutur Valen (11), siswa kelas 5 SD Salunusu, Jumat (4/2 2022).

Fajar baru saja menyingsing saat para siswa SD Salunusu di Desa Salolekbo, Kecamatan Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, sudah bergegas meninggalkan rumahnya ke sekolah.

Valen yang tinggal di Desa Salolekbo itu sudah harus meninggalkan rumahnya pagi buta agar bisa sampai ke sekolah tepat waktu, sebelum jam pelajaran dimulai.

Dengan seragam sekolah, Valen berjalan kaki menggunakan sandal jepit atau berjalan dengan kaki telanjang jika sandal mereka rusak atau putus. Perjalanan ke sekolah melewati jalan setapak.

Pagi hari, Valen dan kakeknya sama-sama meninggalkan rumahnya.

Kedua orangtuan Valen sudah bercerai karena beda pendapat. Valen sendiri kini tinggal bersama kakek, yang akrab ia sapa dengan panggilan Sule.

Kakek valen menuju ke kebun miliknya, sedang Valen pergi menuntut ilmu.

Selain ancaman predator dan medan yang tak mudah, para siswa juga melewati hutan belantara tanpa ada satupun rumah warga di sepanjang jalur yang di lintasi.

Saat lelah menempuh perjalanan jauh, para siswa yang bercucuran keringat kerap beristirahat di bawah pohon atau kebun milik warga sambil memulihkan tenaga yang telah habis terkuras.

Mirisnya lagi, para siswa berangkat ke sekolah tanpa bekal air dan makanan.

Valen harus berjuang menahan rasa haus dan lapar saat dalam perjalan.

Mereka hanya membawa uang jajan Rp 2.000 yang menjadi bekal sesampainya di sekolah nanti.

Tak hanya Valen, banyak siswa lainnya yang juga mengalami nasib yang sama.

Mereka harus berjuang menyeberangi sungai dengan lebar kurang lebih 20 meter.

Saat situasi musim hujan, banyak orangtua yang cemas akan keselamatan anaknya memilih mengantar jemput anaknya ke sekolah.

Saat air pasang seperti ini para siswa bisa belajar di sekolah, namun jika musim hujan deras dan sungai meluap, tidak satu pun pelajar yang berani menyeberang karena takut terseret banjir.

Praktis jam sekolah ditentukan oleh kondiis cuaca.

Karena perjalanan ke sekolah tak mudah, terkadang Valen bersama beberapa temanya sering terlambat mengikuti pelajaran, namun itu dimaklumi para guru di sekolah.

Di sekolah terpencil ini Calen bersama 43 siswa lainnya. Setiap hari mereka belajar dengan 3 ruang kelas yang berukuran 3x5 meter.

Tak ada yang istimewa, sekolah darurat ini dibuat dari papan kayu beratap seng.

Para siswa belajar sambil beralaskan tanah pasir bercampur bebatuan.

Karena jumlah bangku dan kursi terbatas, para siswa sering terlibat memperebutkan kursi dan meja di sekolah ini.

Siswa yang datang terlambat harus relah berdesakan atau berdiri di samping kelas saat belajar.

Ruangan kelas lima dan kelas 6 misalnya, terpaksa dibagi dua.

Satu sisi ruangan digunakan kelas lima, sedang sisi ruangan lainnya digunakan kelas enam. Umumnya guru di sekolah ini mengajar dua kelas sekaligus.

Sekolah yang didirikan sejak tahun 2014 sekolah ini di bangun atas swadaya masyrakat setempat.

Warga yang khawatir masa depan pendidikan anaknya di pedalaman terpencil sepakat mendirikan sekolah darurat. 

Meski baru beberapa tahun berdiri, sekolah ini telah berhasil mencetak sejumlah siswa berprestasi.

Salah satunya adalah Suranil yang kini diangkat menjadi guru honorer untuk mengajar di sekolah ini bersama seorang guru ASN. 

“Ya kondisinya seperti ini cukup miris. Lantainya masih tanah pasir, kursi dan bangkunya tidak cukup. Sekolah masih terbuat dari dinding kayu,” kata Sukarnil.

Karena sekolahnya berada di tengah hutan, ular sering jadi ancaman. Kejadian itu sudah berlangsung beberapa kali.

“Pernah waktu siswa sedang belajar ada ular di dinding sekolah. Suasana belajar yang tadinya tenang mendadak jadi riuh karena ada ular mengintip,” kata Surnil.

Meski kondisi sekolah serba terbatas, namun para guru tak pernah lupa menggelorakan semangat belajar para siswanya di tengah keterbatasan.

Setiap hari anak-anak diberi motiovasi agar tetap bersemangat datang ke sekolah meski jarak tempuh dari rumahnya ke sekolah cukup jauh.

“Tugas kami selain mengajar para siswa juga setiap hari berupaya membangkitkan semangat belajar para siswa agar tetap bersemangat datang dan belajar di sekolah meski kondisi sekolahnya serba terbatas,” kata Wahyu, guru ASN di sekolah itu. 

Wahyu, satu-satunya guru ASN yang bertugas di sekolah SD Salunusu ini mengaku bangga kepada siswanya yang rela berjuang menempuh jarak yang jauh demi mendapatkan sebuah pendidikan. 

Para siswa dan guru di sekolah ini berharap, agar pemerintah ikut prihatin dengan kondisi sekolah anak-anak pedalaman yang membutuhkan uluran tangan.

https://regional.kompas.com/read/2022/02/07/083014378/kisah-siswa-daerah-terpencil-di-mamuju-tengah-harus-berhadapan-dengan-ular

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke