Mbak Jumi asal Kebumen, Jawa Tengah adalah seorang PRT yang ditelantarkan oleh majikannya dan saat ditemukan tidak ada satu dokumen hingga nomor kontak yang ia miliki.
Baca juga: Cerita TKW Neti, Hilang di Malaysia Sejak 2001, Ternyata Jadi Pembantu Tanpa Gaji Selama 8 Tahun
Setelah dibawa ke tempat perlindungan, terungkap, Mbak Jumi berangkat ke Malaysia pada Januari 2020 dengan jalur perseorangan, menggunakan visa turis untuk kemudian dijual ke agensi.
Agensi memperkerjakan ke majikan yang memperlakukan Mbak Jumi layaknya "budak". Mbak Jumi tidak cukup makan, tidak digaji, dan sering dipukul.
Apa yang dialami Mbak Jumi adalah bukti lemahnya SMO dalam memberikan perlindungan bagi PRT asal Indonesia di Malaysia. Izin resmi pemerintah ternyata tidak mampu melindungi PRT migran dari praktik kekerasan.
Baca juga: 2 Perempuan Ditangkap Saat Akan Berangkatkan TKW Ilegal ke Malaysia
SMO meningkatkan praktik pengiriman pekerja ilegal, pemalsuan identitas, tidak ada kontrak kerja, dan perlakuan kasar karena izin kerja bisa diurus langsung di Malaysia, tanpa melibatkan pemerintah Indonesia, sehingga tidak ada perlindungan bagi mereka.
Pemerintah Malaysia mengeluarkan kebijakan SMO sejak 1 Januari 2018, yaitu penempatan pekerja migran secara langsung tanpa melalui agensi.
Salah satu tujuannya adalah untuk meringankan majikan karena biaya perekrutan yang tinggi melalui agensi, hingga Rp70 juta. Namun kenyataannya, sistem itu merugikan para pekerja migran.
Baca juga: Gaji Sulikah, TKW Asal Madiun yang Disiksa Majikan di Malaysia, Akhirnya Dibayar
Kini Mbak Jumi sudah pulang ke kampung halamannya, namun kesehatannya tak kunjung pulih.
Walaupun sudah dioperasi, mentalnya belum pulih, tidak bisa diajak komunikasi, dan badannya lemah.
Selain itu, ada juga seorang pekerja yang identitasnya dipalsukan, dari 16 tahun menjadi 25 tahun di paspor.
Ia bekerja di Malaysia tanpa dilengkapi kontrak kerja dan melalui jalur ilegal lalu mendaftar SMO.
Baca juga: Jenazah TKW Terkatung-katung 1,5 Bulan di Taiwan, Anak Kerap Menangis Tengah Malam
Akibatnya, selama lima tahun bekerja, ia tidak pernah menerima gaji yang dijanjikan sebesar Rp 1,7 juta, padahal dalam aturan, minimal gaji sekitar Rp3 juta.
Saat menuntut jalur hukum tidak bisa karena tidak memiliki dokumen dan kontrak kerja.
Mereka adalah contoh dari sekitar 2,5 juta pekerja migran Indonesia di Malaysia yang mayoritas unprosedural dan rawan mendapatkan perlakuan kasar dan eksploitasi.
-----------------------------------------------