Hari-hari pertama pun sudah terasa berat bagi mereka. Kehidupan di asrama memaksa mereka menjadi individu yang disiplin dan presisi.
Meski begitu Suster Alexia percaya bahwa pembelajaran yang dijalani anak-anak ini merupakan proses yang berkelanjutan.
"Anak-anak laki-laki kecil kalau jalan keluar, saya harus cari ke mana mereka. Anak Papua adalah anak alam. Mereka terbiasa bebas," kata Alexia.
"Saat masuk dalam program asrama, yang jadwalnya disusun jam per jam, mereka bingung. Untuk saya, mendidik mereka itu berat, tapi mereka pasti juga merasa berat."
Baca juga: Gereja Blenduk, Rumah Ibadah Ikon Semarang yang Ada Sejak Tahun 1753
"Tapi terjadi karena mereka tidak terbiasa. Saya tidak putus asa. Orang dewasa saja tidak bisa sekali mengerti, tapi butuh proses," tuturnya.
Anak-anak di panti itu memulai hari sebelum matahari terbit. Mereka yang lebih tua bergantian mendapat tugas memasak.
Setiap anak diajarkan untuk mandiri membersihkan kamar, mencuci piring dan gelas yang mereka gunakan.
Selain bersekolah, mereka dilibatkan dalam merawat kebun dan lingkungan di sekitar panti. Jam berdoa dan waktu belajar juga harus mereka jalani sebelum menutup hari.
Kedisiplinan, kata Suster Alexia, akan menjadi fondasi kemandirian anak-anak saat kelak mereka beranjak dewasa.
Baca juga: Misa di Gereja Katedral Semarang Terapkan Prokes Ketat, Jemaat Diberi Kartu Khusus
Namun anak-anak Papua dari pedalaman tidak terbiasa dengan pola hidup seperti itu. Alexia berkata, penyesuaian yang dihadapi rombongan anak dari Intan Jaya bahkan lebih rumit karena mereka membawa trauma dari kampung halaman.
"Tinggal di daerah konflik, kita tahu bagaimana pergumulan mereka, sedikit-sedikit dengar bunyi tembakan, sehingga mereka tidak nyaman," kata Alexia.
"Ketika mereka duduk lalu dengar bunyi, mereka bilang 'sembunyi'. Batin mereka tidak tenang. Tapi mereka mau berjuang, saya melihat itu. Mereka ada semangat. Mereka mempunyai harapan," kata dia.
"Mereka bilang mau tinggal di sini karena bisa bermain. Di sana mereka tidak bisa seperti ini karena situasi terbatas dan tertutup," ucapnya.
Baca juga: Gereja Kotabaru Yogyakarta Larang Umat Bawa Tas Ransel Saat Misa Natal
Satu pekan jelang natal, persiapan memperingati kelahiran Yesus Kristus mulai dilakukan anak-anak di panti.
Di sela-sela itu, Suster Alexia mengumpulkan anak-anak dari Intan Jaya di sekitar halaman Gua Maria. Dia bertanya tentang perasaan mereka setelah hampir tiga minggu tinggal di asrama.
Mayoritas dari mereka masih ragu mengekspresikan pendapat mereka.
"Pakai bahasa daerah kalian saja, tidak masalah," kata Alexia berusaha mendorong kepercayaan diri anak-anak itu.
Baca juga: Usung Tema Ramah Lingkungan, Ornamen Natal Gereja Kotabaru Dibuat dengan Janur Kuning
Tiba-tiba salah satu anak mengutarakan perasaannya. Suasana dengan gelak tawa seketika sunyi.
"Tiba di sini saya senang. Tinggal di sini sehat, senang bisa tinggal bersama suster dan kakak-kakak," kata anak perempuan itu. Saya mau sekolah di sini. Di kampung ada perang, Mama dan Bapak saya lari ke hutan."
Tangisnya pecah. Dia menarik pakaian untuk mengusap air matanya. Nafasnya sesenggukan.
Kata-kata yang dia ucapkan menjadi begitu pelan hingga tak terdengar jelas. Suaranya bercampur dengan tangisan. Dia berusaha menghentikan air mata yang jatuh dari mata.
Semua anak di halaman itu terdiam sebelum Suster Alexia memecahkan suasana. "Semangat. Semangat," ujarnya.
Lebih dari nilai kemandirian, anak-anak di panti itu juga dididik untuk mengasihi dan menyediakan diri untuk sesama.
Baca juga: Misa Natal di Gereja HKTY Ganjuran, Umat Diimbau Tidak Membawa Tas Besar
"Sebelum keinginan untuk merdeka menjadi begitu kentara, konflik di pedalaman Papua terbatas pada perang suku. Perselisihan itu mereka alami sejak kecil," ucap Nico.
"Jadi saat mereka datang ke panti, kami ajarkan bahwa semua anak sama. Di salah satu sekolah yang kami kelola, kami membuat lingkaran besar di depan pintu sekolah."
"Kami menyebutnya lingkaran persaudaraan dengan empat pintu dari setiap penjuru angin. Anak-anak masuk, dari suku manapun, mereka menjadi satu: bersahabat, tidak bermusuhan seperti pada masa dulu saat masih perang suku," kata Nico.
Baca juga: Kenakan Kopiah Putih, Para Pemuda Muslim Amankan Ibadah Natal: Kita Ingin Merawat Persaudaraan
Empati dan solidaritas itu juga ditumbuhkan kepada anak-anak di panti melalui paduan suara.
Kegiatan ekstrakurikuler ini dipandu Florry Koban, pengurus Yayasan Putri Kerahiman Papua.