Misalnya, kendaraan yang datang dari arah Solok diminta berhenti dan memberi kesempatan kepada kendaraan dari arah Padang untuk melewati tanjakan.
Namun, karena tidak mau diatur, mereka tetap melaju.
Tentu saja hal itu membuat kendaraan yang datang dari arah Padang secara otomatis mengambil jalur kanan agar bisa melewati tikungan dan akhirnya berpotensi bertabrakan dengan kendaraan dari arah Solok.
Fadli mengatakan, dua kendaraan berukuran besar dan panjang tidak bisa sekaligus melewati tikungan tersebut.
Hal ini karena kendaraan besar yang datang dari arah Padang harus mengambil jalur kanan agar bisa lolos dari tikungan dengan kemiringan hampir 45 derajat itu dan ditambah dengan tanjakan yang tinggi.
"Jadi untuk mengaturnya, maka kendaraan yang naik dari arah Padang jadi prioritas. Kendaraan dari arah Solok harus mengalah dan berhenti untuk memberi kesempatan kepada kendaraan dari arah Padang," kata Fadli.
Jika kendaraan dari arah Solok tidak mau mengalah dengan berhenti di lokasi dekat rambu-rambu, maka hampir dipastikan terjadi tabrakan.
Menurut Fadli, mereka yang tidak mau mengalah itu mayoritas sopir yang tidak mengenal medan dan menganggap jalur kanan adalah jalur dia.
Menurut Fadli, ada waktu-waktu tertentu Sitinjau Lauik padat dilewati kendaraan.
Biasanya jam 08.00 WIB hingga 12.00 WIB. Kemudian sore pukul 16.00 WIB hingga pukul 21.00 WIB.
Jika sudah padat, tentu pengaturan jalan akan semakin sibuk.
Kemudian, jika malam hari, pengatur jalan harus menggunakan senter sebagai alat bantu.
"Kita kerja juga sampai malam dan bahkan dini hari. Maklum, jika tidak dibantu bisa terjadi kecelakaan," kata Fadli.
Fadli mengatakan pengatur jalan Sitinjau Lauik sudah ada sejak tahun 1985 atau saat jalan Sitinjau Lauik belum selebar saat ini.
"Saya ini sudah generasi entah ke berapa. Saya belum lahir sudah ada pengatur jalan ini. Kata abang-abang saya, sudah sejak 1985 lah," kata Fadli.
Fadli mengaku mendapatkan uang tip dari sopir kendaraan dari pekerjaannya mengatur kendaraan yang berseliweran di Sitinjau Luik.
Jika sopir tak memberikan, tak ada masalah karena setiap uang diberikan secara sukarela dan tanpa paksaan.
Uang yang dikasih sopir itu tidak banyak, hanya Rp 1.000 hingga Rp 2.000. Namun, jika dikumpulkan, jumlahnya bisa lumayan.
Apalagi jika lalu lintas padat, dalam satu jam mereka bisa medapatkan Rp 50.000.
Uang tip yang didapat dari sopir juga diberikan ke organisasi pemuda setempat.
"Hanya separuh untuk kita, separuh lagi untuk organisasi pemuda. Untuk kegiatan pemuda, untuk kita-kita juga," kata Fadli.
Ada belasan orang yang menjadi pengatur kendaraan di Sitinjau Lauik. Biasanya merek dibagi per jam.
Namun, pengaturan itu tidak kaku. Jika ada yang merasa lelah bisa segera diganti.
Dia menyebut, menjadi pengatur kendaraan memiliki bahaya tersendiri karena berdiri di tengah jalan di tikungan maut.
Itu mengapa Fadli menganggap pekerjaan yang dilakukannya adalah mulia karena membantu orang melewati tikungan angker tersebut.