Bagi warga Tengger, tanah memiliki arti yang sangat mendalam.
Tanah dipandang sebagai pusat religi dan sumber penghidupan dari Sang Hyang Widhi dalam konsep Hinduisme.
Di atas tanah itulah warga Tengger melakukan aktivitas bertani yang dianggap sebagai aktivitas suci atau sakral.
Masyarakat adat Tengger begitu menjaga nilai-nilai luhur.
Baca juga: Atlet, Penghafal Al Quran hingga Suku Tengger Berpeluang Jadi Polisi
Jika tanah itu hilang, warga Tengger akan kehilangan aktivitas ibadah untuk memberikan hasil bumi kepada leluhur mereka.
"Jadi di Jemplang (titik pembangunan proyek wisata) itu ada kawasan yang menurut orang Tengger merupakan kembalinya orang-orang yang sudah meninggal ke sana," kata Lila.
"Jadi ada batas antara dunia manusia dan juga batas ke dunia leluhur. Dan yang kami ketahui bahwa orang Tengger itu hidupnya sangat-sangat berdampingan dengan roh leluhur," imbuh Lila.
Baca juga: Terdampak Pandemi Covid-19, Ratusan Jip Sewaan di Bromo Dijual Pemiliknya
Aktivitas bertani bagi orang Tengger adalah pekerjaan yang sangat mulia, dan sangat diutamakan.
Berdasarkan sejarah adat masyarakat Tengger, aktivitas bertani ini sama halnya dengan merawat tanah.
Dari aktivitas bertani itulah, hasil bumi akan dilabuhkan setiap Upacara Kasada.
Dalam Upacara Kasada, masyarakat adat Tengger melarungkan hasil bumi ke dalam Kawah Gunung Bromo dengan harapan terhindar dari malapetaka.
"Dengan bertani, mereka akan merawat tanah, mereka akan berhubungan dengan para leluhur mereka dan hasilnya (hasil bumi) itu bisa dijadikan untuk dilarungkan di Upacara Kasada," tutur Lila.
Karena itu, ia mempertanyakan pembangunan proyek wisata yang dilakukan secara terus-menerus oleh pemerintah di kawasan TNBTS.
Baca juga: Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Siap Dibuka jika Ada Arahan dari Pusat