Salin Artikel

Polemik dan Keresahan Warga Tengger soal Kawasan TNBTS yang Digadang-gadang Jadi "Bali Baru"

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur menyebutkan ada tiga lokasi pembagunan, yakni di kawasan Jemplang, kemudian juga ada dari arah Probolinggo dan juga dari arah Kabupaten Malang.

Oleh beberapa investor yang mendapat izin membangun fasilitas wisata di kawasan tersebut, proyek wisata di tiga titik itu akan dibangun jembatan kaca, glamour camping (glamping), homestay, hingga restoran.

Walhi Jatim telah bertemu salah satu investor dan mendapati bahwa pembangunan itu telah berjalan.

Ketika pembangunan fasilitas wisata itu dimulai, Walhi menyoroti pembabatan pohon akasia yang menyebabkan kerusakan padang rumput atau savana di kawasan tersebut.

"Nah, itu sebenarnya kan hal yang cukup masuk akal, karena memang tanaman invasif yang menyebabkan savana di sana bisa rusak dan digantikan dengan cemara," ujar Staf Walhi Jawa Timur Lila Puspita.

Lokasi rawan bencana hingga tanah suci

Menurut Lila, investor merencanakan pembangunan glamping dan juga jembatan kaca di dalam kawasan TNBTS yang baru saja ditanami pohon cemara itu.

Padahal di kawasan pembangunan proyek wisata itu, ucap Lila, terdapat tanda berupa papan yang bertuliskan "kawasan rawan bencana".

"Karena, memang, di bawahnya (tanah) ada gas beracun yang bisa saja tiba-tiba keluar atau meledak, seperti itu. Selain itu juga ada kemiringan (tanah) hingga 60 derajat," kata Lila.

Selain itu, lanjut Lila, penuturan warga Tengger juga menyebutkan bahwa kawasan yang menjadi proyek wisata itu merupakan tanah hila-hila atau tanah suci.

Diakui atau tidak, kehidupan warga Tengger sangat erat atau berdampingan dengan para leluhur.

Tanah dipandang sebagai pusat religi dan sumber penghidupan dari Sang Hyang Widhi dalam konsep Hinduisme.

Di atas tanah itulah warga Tengger melakukan aktivitas bertani yang dianggap sebagai aktivitas suci atau sakral.

Masyarakat adat Tengger begitu menjaga nilai-nilai luhur.

Jika tanah itu hilang, warga Tengger akan kehilangan aktivitas ibadah untuk memberikan hasil bumi kepada leluhur mereka.

"Jadi di Jemplang (titik pembangunan proyek wisata) itu ada kawasan yang menurut orang Tengger merupakan kembalinya orang-orang yang sudah meninggal ke sana," kata Lila.

"Jadi ada batas antara dunia manusia dan juga batas ke dunia leluhur. Dan yang kami ketahui bahwa orang Tengger itu hidupnya sangat-sangat berdampingan dengan roh leluhur," imbuh Lila.

Aktivitas bertani bagi orang Tengger adalah pekerjaan yang sangat mulia, dan sangat diutamakan.

Berdasarkan sejarah adat masyarakat Tengger, aktivitas bertani ini sama halnya dengan merawat tanah.

Dari aktivitas bertani itulah, hasil bumi akan dilabuhkan setiap Upacara Kasada.

Dalam Upacara Kasada, masyarakat adat Tengger melarungkan hasil bumi ke dalam Kawah Gunung Bromo dengan harapan terhindar dari malapetaka.

"Dengan bertani, mereka akan merawat tanah, mereka akan berhubungan dengan para leluhur mereka dan hasilnya (hasil bumi) itu bisa dijadikan untuk dilarungkan di Upacara Kasada," tutur Lila.

Karena itu, ia mempertanyakan pembangunan proyek wisata yang dilakukan secara terus-menerus oleh pemerintah di kawasan TNBTS.

Dengan adanya pariwisata dan pembangunan fasilitas wisata penunjang yang sedang berjalan saat ini, pemerintah selalu mengklaim pembangunan tersebut untuk meningkatkan ekonomi masyarakat Tengger.

"Tapi menurut kami, itu tidak bisa dijawab sesederhana itu," kata dia.

Ketika wilayah hidup masyarakat adat Tengger ditetapkan menjadi taman nasional pada 1982 silam, ada penetapan zonasi yang membuat orang Tengger tidak leluasa membuka atau memperluas lahan mereka.

Kini, masyarakat Tengger yang lebih dulu mendiami wilayah tersebut hanya diperbolehkan tinggal dan berladang di zona tertentu.

"Karena bertani bagi orang Tengger itu, selain secara kultural (dianggap sakral), mereka juga berusaha untuk menyelamatkan tanah mereka," kata Lila.

"Dan dengan adanya taman nasional ini pun, masyarakat Tengger ini kan sudah tidak bisa lagi memperluas wilayahnya untuk pertanian dan lain sebagainya. Mereka harus hidup di zona-zona tertentu, di dalam kawasan taman nasional," imbuh dia.

Saat ini, lanjut Lila, lahan milik masyarakat Tengger semakin sempit dengan adanya pariwisata. Tanah-tanah mereka pun juga semakin sedikit.

Pembangunan proyek wisata seperti jembatan kaca, glamping, home stay dan restoran, itu membuat masyarakat Tengger tidak leluasa untuk merawat tanah leluhur mereka.

"Dengan adanya wisata itu, banyak orang yang mulai menyewakan tanah mereka. Memang tidak dibeli, tapi menyewakan. Tapi tanah disewa dalam bentuk sudah bertahun-tahun, yang akhirnya orang Tengger akan semakin sedikit mempunyai tanah di sana," kata Lila.

Dampak dari adanya pembangunan proyek wisata di dalam kawasan TNBTS ini tidak hanya mengakibatkan erosi ekologi, namun juga erosi kultural.

Ia menilai, secara aturan proyek wisata dalam kawasan TNBTS tidak melanggar, tetapi mengabaikan etika lingkungan.

Pembangunan proyek wisata di tanah masyarakat adat Tengger ini juga bertentangan dengan nilai-nilai spiritual dan budaya yang dianut warga Tengger selama ini.

"Karena kalau ngomong lingkungan, kan tidak hanya ngomongin soal tanaman atau hewan yang ada di sana. Tapi juga manusia dan keberlangsungan hidupnya di masa depan," tutur Lila.

Namun, kata Lila, masyarakat Tengger memiliki sikap memendam dan menghindari konflik.

Meski demikian, diamnya orang Tengger ini tidak dapat diartikan bahwa mereka bisa menerima begitu saja dengan segala bentuk perubahan di wilayah tempat tinggal orang Tengger.

Warga Tengger menilai pembangunan proyek wisata tidak bagi bagi keberlangsungan hidup masyarakat setempat. Namun, mereka tak bisa berbuat banyak.

"Dari jawaban salah seorang warga lokal, ketika ditanya tentang pembangunan (proyek wisata) di sana, mereka hanya menjawab, 'Kami bisa apa? Kami hanya orang kecil'," tutur Lila.

https://regional.kompas.com/read/2021/11/18/060000478/polemik-dan-keresahan-warga-tengger-soal-kawasan-tnbts-yang-digadang-gadang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke