Bagi orang Manggarai, mengundang roh penunggu penjaga mata air agar datang dan ikut ambil bagian dalam pesta di kampung adalah hal yang tak bisa diabaikan.
Sebab, mata air dianggap sebagai salah satu sumber penopang kehidupan manusia.
Mereka meyakini, akan ada hal buruk yang terjadi jika hal itu tidak dilakukan, seperti mengeringnya sumber air yang bisa berujung pada kematian.
Sebagaimana mengundang tamu, orang Manggarai akan memberikan tempat khusus, bantal untuk bersandar hingga aneka makanan bagi roh penjaga mata air.
Walaupun tak kasatmata, namun mereka yakin, orang-orang tertentu bisa merasakan kehadiran para roh penjaga mata air.
Baca juga: Mengenal dr Soetomo, Pahlawan Kemerdekaan Kelahiran Nganjuk
"Menurut kesaksian dari seorang narasumber saya saat riset doktoral tahun 2013 dulu, biasanya tetamu barong ini tidak diajak ke dalam rumah tinggal melainkan diberi tempat khusus di halaman beo, dan tempat itu ditandai dengan janur (daun kelapa muda). Biasanya anak-anak tidak diperbolehkan main di tempat itu. Itu sebuah tabu. Dalam setiap acara doa atau makan, mereka juga diberi jatah," katanya.
"Jatah itu diberikan dengan cara di-hela, (sesajen) dari mana muncul kata helang (sesajen). Hela, itu ditebar di atas batu ceper datar. tidak usah banyak, yang penting ada semua komponen dari makanan dan hewan ritual yang dipotong. Jadi, harus ada nasi, sepotong daging, entah ekor sapi, atau pun sayap ayam, dan seterusnya-dan seterusnya. Semuanya ini dimaksudkan untuk menghormati mereka," lanjut Fransiskus.
Lima falsafah orang Manggarai
Leonardus Santosa, Pemerhati Budaya Manggarai dari Komunitas Cenggo Inung Kopi Online (CIKO) Kabupaten Manggarai Timur menjelaskan, ada lima falsafah orang Manggarai.
Kelima falsafah ini, pertama, mbaru bate kaeng (rumah tempat tinggal), kedua uma bate duat (kebun untuk diolah), ketiga wae bate teku (sumber mata air untuk ditimba).
Keempat, compang bate takung (tempat sesajen) dan kelima natas bate labar (halaman rumah untuk berinterasksi sosial, bermain). Ini merupakan satu kesatuan yang tak pisahkan dalam hidup orang Manggarai.
"Prinsip hidup orang Manggarai tidak merasa utuh kalau tidak ada sumber mata air, tidak ada rumah, kebun, tempat mezbah, ruang berkomunikasi dengan alam semesta, Sang Pencipta, lulur, dan juga halaman rumah atau kampung," jelasnya.
Santosa menjelaskan, barong wae bermakna memulihkan hubungan manusia secara harmonis antara sumber kehidupan dengan alam semesta lewat air.
Ritual barong wae berpuncak pada ritual adat di rumah adat. Acara barong wae dilaksanakan oleh masyarakat adat seluruh kampung.
"Asal usul barong wae bersumber dari masyarakat adat. Pola pemukiman orang Manggarai harus memenuhi syarat utama harus ada sumber mata air. barong wae, budaya dan ritual adat itu satu, maka disebut orang Manggarai," jelasnya.
Baca juga: Kisah Gerilyawan Wanita, Sri Ngestoe Padinah, Dipukul Tentara Belanda gara-gara Kelapa
Santosa menambahkan, Barong Wae masih dilaksanakan tiap tahun sebagai ungkapan syukur.
Membangun Manggarai, menurutnya, harus dilandasi lima falsafah. Falsafah boa (kuburan), beo bate ejor (kampung untuk kehidupan). Le paang bele atau ata paang bele, (leluhur berada di luar pintu masuk kampung) perkuburan di luar kampung. Wae (air) bagi orang Manggarai bisa dimaknai simbol pelepasan beban, dosa, duka.
"Disederhanakan. Biasanya orang Manggarai saat pulang melayat orang mati pasti mencuci tangan sebelum masuk ke rumah. Mencuci tangan sudah dilangsungkan sejak zaman lampau. Hamo limo, mencuci tangan. Bahkan saat pulang dari pemakaman, warga biasanya mandi di sungai dan atau mencuci tangan di pintu masuk rumah. Keluarga berduka sudah menyiapkan air di baskom atau ember," jelasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.