KOMPAS.com - Tanjungpinang, Kepulauan Riau adalah kota lama yang menjadi pusat permukiman masyarakat Tionghoa sub suku Tio Ciu (Cao Zhouw) sub suku Hokkian (Fu Jian) pada abad 19 hingga abad 20.
Salah satu kawasan pecinan tertua ada di Pulau Senggarang. Dari Tanjungpinang bisa menyeberang menggunakan kapal kecil di Pelantar 1 atau Pelantar 3 menuju ke pelabuhan di Pulau Senggarang.
Tanjungpinang dikenal dengan nama Lao Lai. Dalam bahasa Teouciu dan Hokian artinya datang ke Riau.
Baca juga: Akau Potong Lembu, Jejak Kuliner Legendaris di Tanjungpinang
Sedangkan Senggarang dikenal dengan nama Chao Po yang berarti kotanya orang Teociu. Untuk Tanjungpinang dikenal sebagai kotanya orang Hokian atau Fu Po.
Bagi generasi tua yang tinggal di Tanjungpinang saat ini, Senggarang dikenal dengan nama Toa Po (kota lama tua) dan Tanjungpinang disebut Siao Po (kota baru).
Salah satu tempat bersejarah di Senggarang adalah tilas hunian salah satu Letnan China bernama Tan Soe Kie.
Letnan Tan Soe Kie (Tan Swie Kie) memiliki jabatan Liutenant der Chineesen te Noord Bintan (Letnan Cina untuk Bintan Utara) yang menjabat dari tahun 1916 sampai dengan tahun 1942.
Baca juga: Bheley, Rumah Perpaduan Madura China yang Berkembang di Bangkalan
Dalam Almanak Hindia Belanda, nama Tan Soe Kie juga tercatat juga dengan ejaan Tan Swie Kie.
Ia memangku jabatan letnan dan diangkat pada 19 Juli 1916 hingga selesai menjabat pada tahun 1942 (bersamaan dengan selesainya sistem Kapitan Cina di Hindia Belanda).
Rumah sang letnan berkelir warna merah muda iberada di Senggarang RT 1 RW 2, No. 21 dengan luas 60x30 meter.
Berada di atas perairan laut, rumah tersebut memiliki 20 kamar dan lima dapur untuk masing-masing keluarga.
Baca juga: Toleransi di Sepiring Sate Kerbau di Kota Kudus
“Kakek itu anak ke dua dari lima bersaudara. Dulu ini rumah ramai, semua tinggal di sini. Kakek meninggal pada tahun 1962 dalam usia 70 tahun, awak (saya) berusia 15 tahun,” ujar Akong Jhonnny dikutip dari nationalgeographic.grid.id.
Rumah tersebut berada wilayah pecinan lawas dan disebut Rumah Yuan He Xing (Nguan Hak Hen).
Nama tersebut diambil dari nama perusahaan gambir dan karet yang dimiliki keluarga Tan.
"Saya pindah dari rumah ini 40 tahun lalu setelah menikah, ya terlalu banyak orang di sini dan ingin menghindari konflik. Sekarang rumah ini sepi,” ujar Jhonny.
Baca juga: Sepiring Rabeg Makanan Kecintaan Sultan Banten, tentang Kenangan Kota Kecil di Tepi Laut Merah
“Ini perusahaan keluarga, usahanya gambir. Senggarang dulu pusatnya perkebunan gambir, ada lada juga,” ujar Akong Jhonny.
“Nah itu gambir dulu untuk mengawetkan warna kain dan batik,” ujar Akong Srijoto.
“Batik Lasem dan Pekalongan itu pakai gambir”, timpal Akong Anthony.
Tak heran, di beberapa kawasan pecinan Pulau Jawa selalu ada nama jalan yang diberi nama Gambiran.
Baca juga: Mencicipi Nasi Buk, Kuliner Khas Madura yang Berkembang di Kota Malang
“Ini sekarang sepi ya. Tapi di Klenteng ramai pengunjung dari resort Bintan,”ujar Akong Jhonny menggambarkan Senggarang.
Ia mengusap kening ketika menceritakan bahwa orang muda di Senggarang banyak yang pergi merantau, bahkan tak jarang yang menjadi warga negara Malaysia dan Singapura.
Keluarga Tan datang ke Bintan sejak pertengahan abad 19 dan menetap di Senggarang. Beberapa nama Tan tercatat menjadi kapitan sejak tahun 1844.
“Rumah ini masih seperti dulu. Bersejarah. Mungkin kalau pemerintah kota membantu merawatnya, bisa menjadi tempat kunjungan wisata sejarah,”ujar Akong Jhonny sambil memperlihatkan beberapa barang peninggalan kakeknya berupa medali kepangkatan dan tongkat jabatan sang letnan.
“Jika rumah ini dirawat dan dibantu oleh pemerintah, pasti warga di sini juga mendapat keuntungan. Supaya Senggarang dan warganya hidup ya,” kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.