Terdengar suara berirama tak..tak..tak..
Teu Jorik sesekali meringis saat jarum tato itu merajah kulitnya meninggalkan jejak hitam kemerahan tetapi tidak berdarah.
Penonton saling menanggapi. Seorang perempuan tua mengatakan saat dia ditato dulu dia sampai menangis.
"Itu tak mabesik (tidak sakit)," kata seorang laki-laki tua yang memperhatikan proses penatoan Teu Jorik. Yang lain mengangguk setuju.
Lelaki itu Teu Saliona Sapokak, 60 tahun, seorang sikerei. Ia memiliki tato Mentawai yang lengkap. Mulai dari lehernya hingga kaki.
Baca juga: Mengenal Kelemben, Bolu Kering Khas Banyuwangi yang Banyak Tersaji Saat Hari Raya Idul Fitri
Tato dadanya seperti garis yang melengkung yang mengikuti poros dada dan ditengahnya ada tato motif daun alepet, daun yang sering digunakan untuk tanaman obat.
Hanya seorang sikerei yang memakai motif daun di dada.
Di bahunya ada motif kulit langsat yang terkembang seperti bintang, di lengannya ada motif duri manau. Pahanya juga memiliki tato garis-garis yang melintang. Kedua kakinya ada motif pagar dan motif duri manau seperti motif tato di kaki Teu Jorik.
Teu Saliona mengatakan mulai ditato saat muda, ketika akan menjadi sikerei di hulu Saibi, kampung lamanya. Pembuatan tatonya dilakukan selama satu minggu.
Baca juga: Mengenal Masjid Cheng Ho Jember, Wadah Muslim Tionghoa Belajar Agama
"Dulu ditato sangat sakit sekali, jarum tatonya dari kawat yang diruncingkan, ada juga yang dari duri pohon jeruk, pewarnanya dari arang dan air tebu," kata Teu Saliona.
Kulitnya saat ditato itu berdarah dan bengkak dan terkelupas. Usai ditato ia berendam di sungai, malamnya demam. Setelah agak sembuh, dua hari kemudian ditato lagi bagian tubuhnya yang lain sampai tatonya lengkap.
"Dulu rambut saya panjang, dan memakai tiktik (tato) membuat kami terlihat indah," kata Teu Saliona.
Baca juga: Mengenal Malam Selikuran, Tradisi Unik Keraton Surakarta Sambut Turunnya Lailatul Qadar
Di tiga pulau lainnya, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, Pulau Pagai Selatan, tato sudah lama hilang.
Pelarangan tradisi tato di Mentawai gencar dilakukan zending Protestan era Kolonial Belanda. Kemudian lebih masif ketika Indonesia merdeka.
Sejak 1954, pemerintah Indonesia melarang Arat Sabulungan—agama lokal yang dianut orang Mentawai. Mereka diminta memilih agama yang diakui pemerintah.
Budaya Mentawai seperti merajah tubuh, meruncing gigi, pengobatan dengan sikerei, dan ritual adat lainnya juga ikut dilarang karena dianggap bagian dari Arat Sabulungan.
Teu Saliona mengatakan pelarangan tato juga terjadi di Simatalu. Polisi datang ke kampung-kampung mereka, membakar semua peralatan sikerei, membuangnya ke sungai, menangkap orang-orang yang punya tato dan juga sipatitinya (juru tato).
Baca juga: Mengenal Jenis-jenis Batu Kecubung Ketapang, Warna Biru Laut Lebih Mahal
"Yang punya tato ditangkap dan dibawa ke Muara Sikabaluan di Siberut Utara dan dihukum disuruh membangun rumah-rumah di sana selama satu bulan," kata Teu Salona mengenang.
Ia tidak sempat mendapat hukuman karena setelah dia ditato tidak ada polisi yang datang ke kampungnya.