Mereka terlebih dulu harus menjalani karantina selama 5 hari sebelum dikirim ke sejumlah sekolah yang ada di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
Arti Indonesia untuk anak anak TKI
Bisa bersekolah di Indonesia, dikatakan sebuah anugerah yang menurut anak anak TKI patut disyukuri. Mereka yang sejak kecil belajar kurikulum Malaysia dan segala hal tentang Malaysia, kini bisa lebih mengenal tanah airnya.
Alumni CLC generasi pertama Supardi (21) menuturkan, kebanyakan anak anak TKI hanya tahu tentang kultur dan budaya Indonesia melalui TV dan HP Android. Tidak semua memiliki dua fasilitas yang masih tergolong mewah bagi anak-anak TKI ini.
‘’Kita sering melihat tayangan alam Indonesia dan berita berita Indonesia lewat TV yang ada di camp. Tapi itu harus menggunakan parabola, sementara di sana salurannya Astro dan mendaftar harus pakai IC (Identity Card). Kalau ada razia, harus disembunyi itu antena,’’tutur mahasiswa semester VI Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang ini.
Semua anak anak TKI memiliki perasaan haru ketika menginjak negeri nenek moyangnya.
Selama 3 tahun, CLC melalui para relawan pengajar Indonesia terus menanamkan jiwa nasionalisme dan patriotisme. Rasa haru itu menyeruak dan menjelma menjadi kebanggaan sebagai anak Indonesia.
‘’Kami memang besar di Malaysia, tapi orangtua kami, nenek moyang kami Indonesia. Kami bertekad menempuh pendidikan tinggi, mengangkat derajat orang tua dan berbuat semampu kita untuk Indonesia,’’tegas pria yang bercita cita sebagai dosen ini.
Sering dikejar aparat, ciptakan trauma masa kecil
Hidup menjadi anak TKI bukan perkara mudah. Sudah tak terhitung berapa kali Supardi harus berlari kencang menembus gelapnya malam demi terhindar dari razia dan kejaran aparat Malaysia.
Puluhan anak TKI yang belum memiliki paspor akan berlarian masuk hutan, mendaki bukit dan harus bermalam di tengah belantara.
‘’Seringkali ada operasi pendatang haram mendadak, kami yang belum berpaspor saat itu harus segera lari kencang menjauh. Sampai sekarang saya takut sekali dengan polisi, tatapan mereka menurut saya menyeramkan,’’katanya.
Saking seringnya mereka lari ke hutan di atas bukit, sejumlah tenda dan gubuk sederhana terbangun di lokasi pelarian. Di tempat itulah puluhan anak TKI tidur berdesak-desakan dan biasanya akan pulang setelah hari menjelang siang.
Supardi mengaku tidak menyesal harus menjalani itu semua. Orangtuanya mengajarkan betapa kehidupan tidak selamanya seperti yang dimau.
Diri kita sendirilah yang harus mengubah dan berusaha untuk menjadi berarti.
‘’Bapak saya tidak pernah mengizinkan saya membantunya bekerja, dia hanya mau saya tak bernasib macam beliau. Bapak kata sudahlah pikirkan saja sekolahmu, masalah biaya selagi bapak mampu jangan khawatir,’’kata Supardi sambil meneteskan air mata.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.