Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Guru SD di Gunungkidul, Rela Jatuh Bangun Antar Jemput Siswa Melalui Medan Ekstrem

Kompas.com - 06/12/2018, 06:00 WIB
Markus Yuwono,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Mateus Brotosugondo (55) warga Tawarsari RT/12 RW 19, Wonosari, Gunungkidul, Yogyakarta, berangkat dari rumahnya menuju ke SD N Kenteng II, Ponjong menggunakan sepeda motor keluaran tahun 2000-an sekitar pukul 06.00 WIB.

Sebagai kepala sekolah di SD N Kenteng II dirinya tidak boleh terlambat karena harus menjemput muridnya terlebih dahulu.

Sugondo, panggilan akrabnya, memacu motornya dengan kecepatan sekitar 60 km perjam menyusuri jalan Wonosari-Ponjong, dirinya menuju ke jalanan sempit bercor blok.

Sesekali dirinya harus mengerem kendaraan karena jalanan berlubang, melewati tikungan, dan tanjakan.

Jalanan yang dilalui pun tidak mudah karena sempit, setelah sekitar 25 km dilaluinya dengan waktu kuranglebih 30 menit, beberapa muridnya sudah menunggu di perempatan Dusun Prampelan, Desa Kenteng, Kecamatan Ponjong.

Baca juga: Kisah Rismaida Damanik, 35 tahun Menjadi Guru SD di Belakang Jurang Danau Toba

 

"Sugeng enjang Pak (selamat pagi pak)," sapa belasan Muridnya hampir bersamaan Rabu (5/12/2018)

Tak lupa mereka mencium tangan Sugondo satu persatu. Seorang muridnya tampak sigap meminta jaket warna hitam Sugondo yang dilepaskan. "Sopo sik urung teko ki? (siapa yang belum datang)," kata Sugondo

"Mereka sengaja berkumpul disitu (perempatan prapelan) karena ada pos rondanya, kalau hujan bisa berteduh," katanya

Dua orang gadis kecil tampak berlarian, takut ketinggalan membonceng sampai ke sekolah. Setelah sejenak bertegur sapa antara kepala sekolah dengan para muridnya itu, 2-3 anak kemudian dibonceng oleh Sugondo.

Jalanan yang dilalui pun tidak mudah, hanya cor blok dan harus melewati ladang dan bukit-bukit karst berbentuk kerucut (conical limestone) sejauh 2,5 km.

"Kalau hujan cukup berat, karena jalanan licin. Saat di turunan tadi saya pernah dua kali jatuh. Beruntung anak-anak tidak apa-apa, kaki saya yang luka,"ucapnya.

Baca juga: Kisah Guru Honorer yang menguliahkan 5 Anak Hingga ke Jepang

Sesampainya di sekolah para murid berlarian untuk mempersiapkan diri Ujian Akhir Semester (UAS) beberapa orang diantaranya menyapu ruangan kelas.

"Dari 72 orang murid disini, 25 orang diantaranya harus diantar jemput di dua lokasi," ucapnya. "Kalau murid yang jauh, untuk pulang biasanya diantar sampai rumah," katanya.

Selain di Dusun Prampelan, lokasi penjemputan lainnya ada di Dusun Cerme, Desa Kenteng. Namun untuk di Dusun Cerme ini mereka yang menjemput khusus guru perempuan. Karena medannya yang lebih mudah diakses.

"Kami tidak memungut biaya, Karena kegiatan sosial, tidak ada imbalan apa-apa. Sebisa mungkin urip iku urup (hidup itu sebisanya memberi manfaat orang lain)," ucapnya.

Punya mimpi besar

Sugondo bercerita selama 3 tahun terakhir dirinya menjabat kepala sekolah SD N Kenteng II dan melakukan antar jemput.

Selama perjalanan dirinya selalu menyelipkan pesan di setiap ada permasalahan dari anak didiknya. Misalnya tidak mengerjakan pekerjaan rumah atau membuat kegaduhan di kelas.

Baca juga: Kisah Guru Honorer di Daerah Terpencil, Jadi Tukang Foto Keliling demi Bertahan Hidup

"Setiap hari selama di perjalanan kami selalu selipkan pesan kepada anak didik. Dengan pesan secara hati- ke hati mereka akan memiliki rasa handarbeni," ujarnya.

Mimpi besar dirinya, yakni sekolah yang berada di Perbatasan dengan wilayah Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah ini bisa berprestasi di kancah nasional. Meski dengan berbagai keterbatasan yang ada.

Misalnya Jangan berharap muncul sinyal telepon seluler di sekitar sekolah yang memiliki 5 orang guru ASN, 4 Orang Guru Tidak Tetap (GTT), dan seorang Pegawai Tidak Tetap ini. Sebab wilayah sekolah ini masuk wilayah blank spot.

Untuk media pembelajaran yang menggunakan internet, sekolah harus memasang antena penerima sinyal diatas bukit karst. "Walaupun berada di Pinggiran kami ingin berprestasi baik yang akademik maupun non akademik," ujarnya.

Salah seorang murid kelas IV, Aisah Ayu Wulandari mengaku setiap pagi menunggu jemputan guru sekolahnya. Dia mengaku sudah sejak awal masuk sekolah hingga saat ini memilih berangkat bersama gurunya. "Kalau jalan bisa sampai 30 menit," ucapnya.

Catur Akhirul Firza, yang kini duduk di kelas VI SD tersebut. "Kalau penjemputan di sini, ada sekitar 15 siswa. Dari kelas 1 sampai 6 ada," katanya. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com