Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Dokter di Asmat Papua, Kemanusiaan Lebih Tinggi dari Rasa Rindu untuk Anak Istri (1)

Kompas.com - 09/10/2018, 09:46 WIB
Kontributor Kompas TV Timika, Irsul Panca Aditra,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

TIMIKA, KOMPAS.com – Fajri Nurjamil (32) masih ingat benar pada hari pertamanya bertolak ke Kabupaten Asmat, Papua.

Di hati, rasa bahagia bergelora. Impiannya untuk mengabdi di Papua sudah di depan mata.

Namun, langkahnya memang tak mudah. Di Kota Agats, dokter Fajri ditempatkan di Puskesmas Primapun, Distrik Safan.

Untuk mencapai distrik tersebut, dia harus menempuh perjalanan sungai selama kurang lebih 6 hingga 7 jam dari Distrik Agats yang merupakan ibu kota Kabupaten Asmat dengan menggunakan kapal cepat bermesin 85 PK.

Itupun tergantung cuaca dan pasang surutnya air sungai.

Dokter Fajri bertugas di Puskesmas Primapun sejak pertengahan Juni 2013 hingga Desember 2014. Selanjutnya, pada Januari 2015 hingga kini dia ditugaskan di Puskesmas Suru-Suru, Distrik Suru-Suru. 

“Saya juga sempat ditugaskan selama satu minggu di Puskesmas Mamugu-Batas Batu, Distrik Sawa Erma tahun 2014 dan Puskesmas Yausakor, Distrik Siret's tahun 2018 ini,” kata dia sambil memeriksa seorang anak saat ditemui Kompas.com.

Dokter Fajri Nurjamil, dokter asal Aceh yang mengabdi di Kabupaten Asmat, Papua.KOMPAS.com/IRSUL PANCA ADITRA Dokter Fajri Nurjamil, dokter asal Aceh yang mengabdi di Kabupaten Asmat, Papua.
Selama bertugas di Asmat, Fajri mengalami berbagai macam adaptasi dengan masyarakat sekitar maupun medan dan alamnya.

Awal bertugas, dia mengaku terkadang masyarakat banyak menolak dengan pelayanan kesehatan yang mereka berikan, seperti pemberian imunisasi kepada anak-anak maupun tindakan emergency yang harus diberikan kepada pasien.

Namun, semua itu sudah bisa dilalui setelah dirinya bersama rekan kerjanya selalu memberikan penyuluhan demi penyuluhan sehingga akhirnya masyarakat mengerti akan kesehatan.

Selain itu, dengan adanya perhatian khusus dari pemerintah Provinsi Papua dan pemerintah Kabupaten Asmat, semua kendala dan kesulitan yang dihadapi sudah bisa dilalui.

“Alhamdulillah mereka menerima dan mulai mengerti akan pentingnya kesehatan yang dimulai sejak dini dan pentingnya kesehatan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari baik dalam perilaku hidup bersih dan sehat,” kata dia.

 

 

 

Dokter Fajri Nurjamil, dokter asal Aceh yang mengabdi di Kabupaten Asmat, Papua.KOMPAS.com/IRSUL PANCA ADITRA Dokter Fajri Nurjamil, dokter asal Aceh yang mengabdi di Kabupaten Asmat, Papua.
Saudara sendiri

Di pedalaman Papua, lanjut dia, sungai, lautan, gunung dan hutan-hutan adalah sahabat setia.

Fajri mengaku pernah terapung-apung di pesisir pantai selatan Papua laut Arafuru dan nyasar hingga ke sungai-sungai kecil di tengah hutan belantara ketika pulang dari pelayanan pada waktu dinihari.

Namun hal itu tidak pernah membuat dirinya dan rekan kerjanya jera dan menyerah dalam meluangkan waktu bersama masyarakat untuk memberikan pelayanan kesehatan dan kegiatan sosial lainnya. 

“Bersama alam di sini semuanya terasa indah ketika kami menjalani hidup dengan segala keterbatasan karena kami ingin selalu bersyukur kepada Sang Pencipta dan di balik semua keterbatasanlah, kami bersama alam menemukan kedamaian dalam melakukan pelayanan kesehatan di Asmat,” ujar dia. 

Bagi dokter Fajri, masyarakat Asmat sudah seperti saudaranya sendiri. Sebab, mereka selalu menuntun dia setiap langkahnya terhenti.

Pada saat dirinya kehilangan akal untuk bisa melewati suatu masalah baik dalam pelayanan kesehatan dan ketika mau merujuk pasien ke ibukota kabupaten, masyarakat inilah yang selalu menolong dan mendoakan dia dan rekan kerjanya.

Dokter Fajri Nurjamil, dokter asal Aceh yang mengabdi di Kabupaten Asmat, Papua.KOMPAS.com/IRSUL PANCA ADITRA Dokter Fajri Nurjamil, dokter asal Aceh yang mengabdi di Kabupaten Asmat, Papua.
Komitmen pada kemanusiaan

“Masyarakat selalu mendoakan setiap langkah kami dan berbagai kesulitan yang kami lalui. Berkat dari izin Sang Pencipta langit dan bumi, alam menjawab doanya mereka di sepanjang perjalanan yang kami lalui,” tutur dia. 

Walaupun nyawa menjadi taruhan dalam setiap perjalanan tugas dan ganasnya plasmodium malaria, namun tidak sedikit pun membuat langkahnya untuk mundur dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat karena dia percaya apapun yang dilaluinya, semuanya kembali kepada niat dan tujuan kita untuk mereka.

Dia mengatakan, seberat apapun hari-hari yang dilaluinya dalam pelayanan kesehatan di pedalaman Kabupaten Asmat di bagian pesisir selatan Papua itu belum seberat apa yang telah dilalui rekan-rekannya para pejuang kesehatan di pegunungan tengah Papua, di pulau-pulau terluar di Papua dan di daerah-daerah pedalaman lainnya yang ada di pedalaman Bumi Cenderawasih.

“Walaupun beratnya kehidupan yang kami lalui di pedalaman Bumi Cenderawasih, itu adalah hal biasa yang sudah dilalui oleh masyarakat di pedalaman Papua. Maka dari itulah kami di pedalaman Papua bisa banyak belajar bersyukur kepada-Nya dengan apa yang telah kami lalui di sini,” ujar dia.

“Inilah hal yang sangat terberat bagi saya yang terkadang selalu membuat hati saya selalu ingin menangis ketika rasa rindu dengan istri dan kedua putri saya tercinta setiap harinya di pedalaman Bumi Cenderawasih. Namun saya tetap harus tegar dan kuat karena saya yakin semuanya akan indah pada waktunya,” pungkas dia. 

BERSAMBUNG: 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com