Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dulu Kesulitan Air, Kini Bleberan Jadi Desa Wisata Berpendapatan Miliaran Rupiah

Kompas.com - 28/05/2017, 08:27 WIB
Markus Yuwono

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Gempa besar pada 2006 telah merusak sejumlah daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tak terkecuali Desa Bleberan di Kecamatan Playen, Gunungkidul.

Setelah gempa 11 tahun silam, desa yang berjarak 45 dari Kota Yogyakarta tersebut kehilangan sejumlah mata air. Sebagian sumur tidak lagi menjadi sumber pasokan air.

(Lihat sajian visual tentang gempa Yogyakarta 2006)

Hal itu mendorong warga desa untuk mencari cara mengelola air, termasuk dengan menggunakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Upaya itu membuahkan hasil nyata. Desa tersebut kini tak pernah kekurangan air. Inovasi warga desa itu bahkan mendatangkan penghargaan dari Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Predikat sebagai Desa Wisata Ilmu Pengetahuan dan Teknologi itu diperoleh dalam penganugerahan penghargaan di Bukit Tinggi Sumatera Barat, Sabtu (13/5/2017) malam.

(Baca Ini 10 Desa Wisata Terbaik yang Dapat Penghargaan Mendes)

Kriteria penilaian di antaranya pengelolaan wisata melalui badan usaha milik desa (bumdes) hingga mampu memanfaatkan sumber daya alam dan teknologi pengelolaan air bersih yang berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan asli desa dan kesejahteraan masyarakat.

Desa Bleberan menawarkan dua obyek wisata unggulan, yakni air terjun Sri Getuk dan Goa Rancang Kencana. Setiap pekan, lebih dari 2.000 orang mengunjungi lokasi pelesiran itu.

Ketua Desa Wisata Bleberan Tri Harjono mengungkapkan, beberapa hal yang dinilai dari penghargaan tersebut antara lain desa tersebut mampu mengelola wisata dengan pengelolaan yang dilakukan melalui bumdes.

"Dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi, Desa Bleberan juga mampu memanfaatkan teknologi pengolahan air bersih dengan menggunakan tenaga solar cell serta pembuatan gethek (perahu) untuk mengangkut wisatawan Sri Getuk yang dibuat dengan memanfaatkan drum bekas," kata Tri, Jumat (26/5/2017).

Gethek dari bahan drum bekas yang dilengkapi mesin itu merupakan hasil inovasi masyarakat untuk mengangkut wisatawan yang akan mengunjungi air terjun Sri Getuk.

Ada dua jalur menuju Sri Getuk, melalui jalur darat dan melalui Sungai Oya menggunakan gethek.

Jarak yang harus ditempuh dari dermaga jika menggunakan kapal maupun berjalan kaki kurang lebih 250-300 meter.

Adapun solar cell atau panel surya digunakan untuk pemanfaatan sumber mata air Jambe. Panel surya digunakan sebagai sumber listrik untuk menggerakkan pompa air.

Pada 2007, pihak desa membentuk unit pengelolaan air dan menyalurkan air ke seluruh desa Bleberan.

"Sejak gempa bumi 2006, sejumlah mata air di desa kami menghilang dan sebagian sumur tak lagi mengeluarkan air. Warga harus membeli dari (mobil) tangki swasta," kata Tri.

Dengan bantuan beberapa lembaga, warga dan pemerintah desa menyedot sumber mata air Jambe dan disalurkan ke bak penampung (reservoir).

Air disalurkan ke rumah warga dan masing-masing dipasangi water meter. Untuk setiap kubik air, warga membayar Rp 3.000. Harga ini jauh lebih murah dibanding membeli air melalui tangki swasta.

"Pengelolaannya profesional seperti PDAM," katanya.

Saat ini hampir seluruh masyarakat Desa Bleberan tak lagi kekurangan air. Pasokan air selalu ada sepanjang tahun, bahkan saat kondisi kemarau panjang.

Warga tinggal membuka keran yang terpasang di masing-masing rumah dan sudah bisa menikmati air.

Tri mengatakan, untuk mengelola potensi desa tersebut dibentuk bumdes, yang dikelola oleh masyarakat desa.

Jumlah karyawan bumdes sebanyak 12 orang, karyawan simpan pinjam 3 orang, dan karyawan pengelolan air 6 orang.

Adapun karyawan kawasan wisata 90 orang, pemberdayaan masyarakat/warung sebanyak 60 orang, ada 10 kelompok pemilik mobil. Ada pula home stay milik 30 orang dan 6 kelompok kuliner.

"Jika kami ditanya mengenai berapa persen pengurangan pengangguran, kami tidak mengetahui. Yang pasti ada ratusan orang dari masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan wisata Desa Bleberan. Belum lagi dampak ekonomi lainnya," ujar Tri.

Pada 2015, pendapatan bumdes mencapai Rp 2,1 miliar dan setahun kemudian naik menjadi Rp 2,2 miliar.

Pendapatan kotor ini nantinya akan dipilah dalam beberapa sub, mulai dari pendapatan asli desa, pengembangan potensi, gaji karyawan bumdes, pendidikan dan pelatihan, dana sosial dan religi.

Bumdes menggelar rapat setiap tahun untuk mempertanggungjawabkan seluruh kegiatan unit usaha.

"Dalam bidang dana sosial, kami membangun rumah tidak layak bagi warga kurang mampu dan membagikan dusun yang belum memiliki potensi untuk mengembangkan dusunnya supaya berkembang. Ada 11 dusun di desa kami," ucapnya.

Keberhasilan membentuk bumdes inilah yang menjadikan Desa Bleberan meraih penghargaan dari Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Menurut Tri, banyak tantangan ketika hendak membentuk bumdes karena sebagian besar masyarakat belum memahami mengenai badan usaha tersebut.

"Banyak yang bertanya mengenai bagaimana nanti pengembangan SDM-nya," katanya.

Seiring perjalanan waktu, masyarakat mulai percaya dan memahami apa itu bumdes. Selama ini banyak desa di Gunungkidul yang belum memahami potensi di desanya dan tidak bisa mengembangkan menjadi bisnis yang bisa digunakan untuk kesejahteraan.

"Desa tidak bisa mengenali potensinya, sehingga seringkali belum bisa memanfaatkan. Padahal jika bisa mengelola, masyarakat akan diuntungkan jika bisa mengelola potensi desanya," tuturnya.

Secara terpisah, Sekretaris Dinas Pariwisata Gunungkidul Hary Sukmono mengatakan, dari belasan desa wisata di wilayahnya, ada dua desa yang memiliki prestasi.

Selain Bleberan, Desa Nglanggeran pernah menerima penghargaan di ASEAN Community Based Tourism Award 2017.

Menurut Hary, kedua desa tersebut menjadi kiblat bagi desa lain untuk mengembangkan potensi wisata.

Saat ini ada tiga desa wisata yang sudah masuk dalam bumdes, yakni Desa Nglanggeran, Bleberan, dan Mulo.

"Kami mendorong agar desa mengembangkan potensinya dengan improvasinya, sesuai dengan potensi yang ada," katanya.

Desa Wisata Bleberan menjadi salah satu situs geologi (geosite) di Geopark Gunungsewu. Geopark gunungsewu masuk dalam Global Geopark Network (GGN) oleh UNESCO melalui Konferensi Asia Pasific Global Network di Sanin, Kaigan, Jepang, pada September 2015.

Masuknya Gunungsewu bersama 120 global geopark di 33 negara membuat asa baru bagi pengelolaan wisata di tiga kabupaten di sisi selatan pulau Jawa.

"Geopark global UNESCO itu wilayah geografik tunggal menyatu dan dikelola secara holistik untuk tujuan perlindungan, pendidikan, dan pembangunan kawasan secara berkelanjutan," kata General Manager Geopark Gunungsewu Budi Martono.

Ada sejumlah geosite yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dengan pengembangan pariwisata di daerah ini.

Di bentangan tiga daerah, yaitu Kabupaten Gunungkidul (DIY), Wonogiri (Jawa Tengah), dan Pacitan (Jawa Timur), terdapat 33 geosite dengan luas 1.802 km persegi. Di Gunungkidul ada 13 lokasi geosite, Pacitan 13 lokasi, dan Wonogiri 7 lokasi.

Adapun 13 geosite yang menjadi kawasan geopark di Gunungkidul meliputi endapan laut miosen Awal (Formasi Sambipitu), gunung api miosen awal (Formasi Nglanggran), Hutan Wanagama, air terjun Sri Gethuk, Goa Kali Suci, Goa Jomblang, Goa Pindul, lembah karst Mulo, pantai Baron-Kukup–Krakal, Pantai Siung–Gunung Batur–Pantai Wediombo, Hutan Turunan, Goa Cokro, dan Bengawan Solo purba.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com