Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dua Kakek Ini Generasi Terakhir Pembuat Payung Kertas

Kompas.com - 18/03/2017, 13:51 WIB
Slamet Priyatin

Penulis

KENDAL, KOMPAS.com - Dahlan (67) dan Mangkin (66) terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Mangkin sibuk dengan kertas cokelat yang ia tempelkan pada jari-jari payung dari bambu, sedangkan Dahlan menata payung kertas yang sudah jadi.

Dua kakek warga kampung Ngaglik, Kutoarjo, Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, ini saling bahu membahu untuk membuat sebuah payung kertas. Mereka berdua adalah generasi terakhir perajin payung kertas yang masih ada di Kendal.

Menurut Dahlan, hampir semua warga Kampung Ngaglik dulunya adalah perajin payung kertas. Namun lama kelamaan, mulai hilang seiring dengan kemajuan zaman.

“Sebelum kemerdekaan hingga tahun 1970-an, warga sini banyak yang membuat payung kertas,” kata Dahlan, Sabtu (18/3/2017).

Dahlan mengaku, saat ini di Ngaglik, Kaliwungu, bahkan Kendal, hanya mereka berdualah yang masih menjadi perajin payung kertas. Mereka sebenarnya juga sudah mencoba mengajarkan kepada generasi penerus, tetapi tidak ada yang tertarik. Termasuk anak mereka.

“Mungkin karena rumit dan butuh ketelitian serta kesabaran, sehingga mereka pada tidak mau. Mereka lebih memilih kerja di pabrik,“ lanjutnya.

Dahlan menambahkan, mulai hilangnya payung kertas mungkin karena masyarakat sekarang sudah tidak tertarik lagi dengan peninggalan nenek moyang itu. Selain harganya lebih mahal, juga lantaran payung tersebut tidak kuat terkena air terus-menerus.

“Harga payung kertas, yang panjang jari-jari payungnya 30 sentimeter mencapai 65.000 rupiah. Untuk yang panjang jari-jarinya 40 sentimeter, harganya 75.000 rupiah dan yang 50 sentimeter 85.000 rupiah,” ujarnya.

Dahlan mengaku saat ini pihaknya hanya menerima pesanan saja, baik dari pemerintah maupun masyarakat.

“Biasanya yang pesen itu para guru tari. Ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kendal juga pesan banyak. Katanya mau buat menari di taman mini,” akunya.

Warisan leluhur

Rekan Dahlan, Mangkin mengaku bahwa tanggung jawab terhadap leluhurlah yang membuat mereka bertahan membuat payung kertas. Sebab, hasil dari membuat payung kertas tidak seberapa dibandingkan dengan usaha lain.

“Selain menerima pesanan payung kertas, kami juga bekerja lain. Kalau Kang Dahlan jualan sate bila malam hari, kalau saya serabutan,“ kata Mangkin.

Untuk membuat sebuah payung kertas membutuhkan waktu beberapa jam. Dirinya harus membuat jari-jari payung dari bambu dulu, kemudian merangkainya. Setelah dirangkai melingkar dengan mengikat jari bambu pakai tali, baru diberi kertas.

“Kertasnya khusus, kertas payung. Bukan kertas bekas semen,” ujarnya.

Untuk pengerjaan mengelem kertas ke jari-jari payung dari bambu ini dilakukan pada malam hari. Sebab kalau siang hari, hasilnya jelek dan daya rekatnya kurang, karena terkena panas matahari.

“Lem perekat yang kami pakai buatan sendiri, dari bahan-bahan tradisional,“ katanya.

Mangkin menjelaskan, setelah payung kertas jadi, lalu dilukis. Warna dan corak lukisannya tergantung pemesannya. Biasanya gambar hewan, daun atau bunga.

“Yang melukis Kang Dahlan. Dia memang jago,“ katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kendal, Agus Rifai, mengatakan, pihaknya akan berupaya mempertahankan budaya payung kertas. Menurutnya, payung kertas adalah warisan nenek moyang. Sangat disayangkan kalau warisan itu sampai hilang.

“Kami akan melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah . Ini bisa dijadikan pelajaran keterampilan,” ujarnya.

Agus menambahkan, pihaknya akan menghubungi Dinas UMKM supaya bisa ikut membantu permodalan dan pemasarannya.

“Nanti kalau ada pameran UMKM biar diikutkan,” jelasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com