Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meniti Mimpi Anak Buruh Migran Indonesia Bersekolah (2)

Kompas.com - 04/08/2016, 15:46 WIB
Kontributor Pontianak, Yohanes Kurnia Irawan

Penulis

SARAWAK, KOMPAS.com – Wajah Nurul Latika semringah dan tampak begitu bersemangat. Bocah 9 tahun ini terlihat aktif berkejaran dengan rekan seusianya di lingkungan sekolah di tengah ladang kelapa sawit di Sarawak, Malaysia.

Begitulah keseharian siswi kelas III tersebut saat bersekolah di Community Learning Center (CLC) Ladang Galasah. Sekolah ini bukan di Indonesia, melainkan di kawasan Sarawak Oil Palm Berhad (SOPD) di daerah Miri, Sarawak, Malaysia.

Penyuka mata pelajaran matematika ini mengaku senang bisa bersekolah dan bermain dengan rekan seusianya di CLC Galasah.

"Senang bisa sekolah di sini (CLC), bisa bermain sama teman juga. Saya suka pelajaran matematika," ujar Nurul ketika berbincang dengan Kompas.com, Selasa (2/8/2016).

Tak hanya Nurul, siswa-siswi lain di sekolah itu secara serempak mengaku senang bisa bersekolah. Mereka seperti berlomba-lomba menyebutkan berbagai profesi yang kelak ingin mereka jalani tekuni sudah dewasa.

Ada yang ingin jadi dokter, ada yang ingin jadi polisi. Beragam jenis profesi lainnya terlontar dari bibir-bibir mungil mereka ketika ditanya tentang cita-cita.

Selain para siswa, guru-guru di sana pun ikut senang. Lela Nanga, misalnya. Perempuan asal Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, itu juga senang bisa mengajar murid-murid di ladang.

Kebetulan pula, Nurul adalah anak kedua Lela, sehingga ia semakin bersemangat mengajar anak-anak tersebut.

Lela mengikuti suaminya yang bekerja sebagai buruh sawit di Ladang Galasah sejak 1990-an. Sebelum jadi guru, Lela juga menjadi buruh di perkebunan itu.

Ia kemudian direkrut perusahaan dan mendapat bimbingan serta pelatihan dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Kuching untuk meningkatkan kapasitas sebagai guru di CLC.

Saat ini ada 44 anak buruh migran yang mengenyam pendidikan di sekolah itu. Dari jumlah tersebut, 43 di antaranya jenjang sekolah dasar dan seorang lainnya sekolah menengah pertama.

Para siswa yang menggunakan seragam sekolah seperti seragam di Indonesia itu belajar dalam satu ruangan.

Ruangan itu awalnya berupa rumah tempat tinggal para buruh dan disulap menjadi ruangan kelas. Belum ada bangunan khusus untuk sekolah dan mereka diajar secara bergantian.

Berdiri sejak tahun 2011, CLC Galasah setidaknya sudah meluluskan tiga angkatan. Yang pertama ada tiga orang, kemudian kedua ada tujuh orang, lantas dua orang.

"Alhamdullilah, mereka bisa diterima dan melanjutkan sekolah di Indoneisa. Ada yang masuk kelas satu, ada juga yang melanjutkan di kelas dua SMP. Mereka menggunakan dokumen berupa rapor dan surat pindah dan berlaku di Indonesia," ujar Lela.

Saat ini, CLC Galasah dan belasan CLC lain di Sarawak mendapat tambahan tenaga pengajar dari sekelompok mahasiswa. Mereka menjadi relawan yang tergabung dalam program Volunteerism Teaching Indonesian Children (VTIC).

Rombongan mahasiswa ini merupakan gelombang kelima pada tahun ini. Mereka akan berada di sana selama hampir satu bulan untuk memberikan pendampingan dan motivasi pendidikan, baik kepada murid, guru, maupun orangtua siswa.

(Baca juga Meniti Mimpi Anak Buruh Migran Indonesia untuk Bersekolah)

Upacara bendera

Selain Gasalah, ada pula CLC Ladang Rajawali di kawasan perkebunan milik perusahaan Sime Darby Plantation di Miri.

Pagi itu, lebih dari seratus siswa sedang mengikuti upacara bendera. Kumandang lagu Indonesia Raya pun terdengar, mengiringi bendera merah-putih yang perlahan digerek petugas pengibar di salah satu tiang. Dua bendera lain juga dikibarkan, yakni bendera negara Sarawak dan bendera Malaysia yang sudah terlebih dahulu bertengger di puncak dua tiang lainnya.

Rentetan urutan upacara ini sama persis dengan upacara di Indonesia. Yang berbeda hanya lokasinya, mereka mengikuti upacara di Malaysua, mengikuti orangtua mereka yang bekerja sebagai buruh migran.

Selepas upacara, mereka melanjutkan kegiatan belajar-mengajar. Ada tiga kelas di bangunan sekolah, yang dibangun secara khusus oleh perusahaan untuk fasilitas gedung CLC di Sime Darby. Ada pula ruang guru dengan fasilitas cukup memadai.

Berbeda dari CLC Galasah, kondisi di CLC Sime Darby terlihat lebih baik. Bangunannya terpisah dari kompleks pemukiman.

Kepala Sekolah CLC di Sime Darby Ninik Dwi Wahyuni mengatakan, sekolah ini mulai beroperasi sejak tahun 2012. Jumlah siswanya terbanyak dibanding CLC lainnya, yaitu 164 siswa, dengan jenjang SD sebanyak 103 siswa dan SMP sebanyak 61 siswa.

"Alhamdullilah, dukungan dari perusahaan cukup bagus dan bangunan ini diresmikan pada tahun 2014. Dukungan dari KJRI juga bagus, dengan memberikan bantuan berupa fasilitas pendukung berupa buku pelajaran dan lainnya," ujar Ninik.

Syarat mendirikan CLC

Konsul Jenderal KJRI Kuching Jahar Gultom mengatakan, mendirikan dan menyelanggarakan pendidikan di negara bagian Sarawak bukan perkara mudah.

Dalam konteks pendidikan, hal tersebut merupakan hak asasi setiap anak-anak dan telah menjadi kesepakatan internasional.

Untuk itu, membiarkan atau tidak memberikan akses pendidikan kepada anak bisa dikatakan kesalahan atau "kejahatan" terhadap anak.

Sayangnya, anak-anak TKI itu tidak mendapatkan pendidikan formal sebagaimana mestinya, mengingat tidak adanya akses pendidikan bagi mereka.

Selain lokasi tempat tinggal mereka yang jauh di pedalaman perkebunan sawit, mereka juga tidak dapat diterima di sekolah milik pemerintah setempat karena regulasi di sana mengatur bahwa pekerja asing tidak diperbolehkan membawa keluarga sesuai dengan Ordinan Buruh Nomor 119 KJRI Kuching.

Maka itu, pemerintah Malaysia memberikan imbauan kepada pemilik perusahaan agar memberikan fasilitas pendidikan sementara kepada anak-anak tersebut.

Imbauan ini pun mendapat sambutan dari beberapa perusahaan. Ada yang menyediakan ruangan khusus untuk ruang belajar-mengajar. Ada juga yang membangun gedung khusus untuk studi anak-anak buruh migran.

Saat ini, negara bagian Sarawak memiliki 15 unit CLC yang tersebar di sejumlah perkebunan kelapa sawit di daerah Miri dan Bintulu. Dari jumlah tesebut, sedikitnya 805 peserta didik anak TKI mengenyam pendidikan di tempat itu.

"Keberadaan CLC sendiri sudah disetujui dan diakui oleh pemerintah Malaysia melalui Menteri Sosial, Wanita dan Pembangunan Wanita yang diberi amanat untuk menangani masalah tersebut di Sarawak," kata Jahar.

Persetujuan tersebut berdasarkan hasil rapat kabinet Sarawak pada 26 Februari 2015 dan diumumkan melalui media pada tanggal 10 Maret 2015.

Garis panduan secara terperinci mengenai mekanisme pendaftaran CLC kepada Kementerian Pendidikan Malaysia telah diberikan secara lengkap dan terperinci.

"Namun, ada perbedaan mendasar mengenai pendaftaran CLC di Sarawak dengan negara bagian lainnya, seperti Sabah. Untuk pendaftaran di Sarawak harus dilakukan langsung oleh penanggung jawab CLC, yaitu perusahaan tempat berdirinya CLC dan bukan diajukan oleh perwakilan Republik Indonesia," jelas Jahar.

Setelah proses pendaftaran dan pendirian SLC kepada Kementerian Pendidikan Malaysia selesai, pemerintah Indonesia akan lebih leluasa memberikan akses pendidikan kepada anak-anak TKI di CLC.

Akses tersebut di antaranya pengiriman guru-guru profesional dari Indonesia serta penyaluran dana-dana pendidikan.

Sambutan perusahaan

Pada 25 Juli 2016, KJRI Kuching meresmikan CLC yang ke-15 di ladang Ladong milik perusahaan Tradewinds Plantation Berhad di daerah Simunjan.

Manager Ladang Ladong Tradewins Plantation Berhad, Syam, menyambut baik berdirinya sekolah ini. Perusahaan yang memiliki area kelola lebih dari 5.000 hektar ini dibagi menjadi dua, yaitu ladang Ladong dan Simunjan.

"Ada sekitar 30 lebih anak-anak di sini, dan memang diperlukan sekolah untuk mereka belajar," ujar Syam, yang mewakili pihak perusahaan menghadiri peresmian CLC Ladong saat itu.

Syam menuturkan, ide membangun CLC tersebut sebenarnya sudah ada sejak lama. Ide itu muncul dari imbauan KJRI kepada pemilik perusahaan agar memberikan fasilitas pendidikan sementara kepada anak-anak tersebut. Beruntung, imbauan ini pun mendapat sambutan dari beberapa perusahaan.

"Ide memang sudah ada, tapi untuk mencetuskan, yang belum. Bersyukur dengan adanya kerja sama dari pihak Konsulat, perusahaan bisa mewujudkannya," ujar Syam.

Senada dengan Syam, Asisten Manager Suai 1 Sarawak Oil Palm Berhad Syahdan Yusuf mengutarakan hal yang sama.

Pihak perusahaan menyambut baik dengan adanya CLC ini, mengingat banyaknya anak-anak usia sekolah yang berada di kawasan perkebunan.

"Kami menyambut baik adanya CLC ini, dan berterima kasih kepada rekan VTIC yang saat ini sudi datang jauh-jauh ke Sarawak untuk memberikan pengalaman kepada anak-anak di sini. Sekali lagi mewakili SOPB, menyampaikan terima kasih kepada semuanya," ujar Syahdan dalam rangkaian pembukaan program VTIC ke lima di Ladang Galasah SOPB di Miri, Sarawak, Selasa (2/8/2016).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com