Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

”Hepi-hepi” sampai Lupa Utang di Rumah

Kompas.com - 21/07/2016, 16:01 WIB
Siwi Yunita Cahyaningrum

Penulis

KOMPAS - Wis tau isun riko sayangi, wis tau isun riko welasi

yo wis gedigu... yo wis gedigu

yo gedigu baen….

(Sudah pernah aku kau sayangi, sudah pernah aku kau cintai, ya sudah begitu.. ya sudah begitu, ya begitu saja….)

Headset di telinga dan mikrofon di tangan kanan, Risanggeni (37) menyanyi sepenuh hati. Lagu ”Riko Sing Kanggo Maneh” (Engkau yang Tak Berarti Lagi) jadi lagu kelima yang ia bawakan di radio karaoke Arif Kafilah FM, di Rogojampi, Banyuwangi.

Suara Risanggeni memang tak seperti artis rekaman, tetapi enaklah untuk didengar. Yang jelas, ia terlihat happy saat menyanyi.

”Hayo nyanyi sama saya. Mau lagu apa? Nanti saya yang bayarin,” katanya.

Risanggeni yang punya nama asli Joni Imron sudah dua tahun jadi pelanggan tetap di radio karaoke. Sore itu, setelah mengantarkan anaknya les, ia mampir di radio karaoke Arif Kafilah, yang berada satu gang dengan tempat les anaknya. Ia mengambil tiga paket karaoke seharga Rp 15.000 untuk sembilan lagu yang disiarkan langsung di radio kampung itu.

Tiga paket itu sebenarnya kurang, tetapi karena antrean karaoke sudah panjang, ia pun mengalah untuk bergiliran. Risanggeni paling sering menyanyi lagu banyuwangian. Selain populer, pendengarnya pun senang. Seperti saat ia menyanyi lagu ”Riko Sing Kanggo Maneh”, misalnya, SMS pendengar langsung membanjiri studio radio.

Ada yang sekadar ingin komentar tentang penyanyinya, memintanya menyanyi lagi, ada pula yang bercanda menawarinya rekaman. Mamah Leha, sang penyiar, pun tanggap dan memintanya menyanyi lagi agar pendengarnya kian happy.

Menjadi tren

Karaokean di radio telah jadi tren di Banyuwangi selama dua tahun terakhir ini. Radio karaoke tumbuh menjamur di pelosok desa. Terakhir, berdasarkan data dari kelompok siaran radio lokal, jumlah radio karaoke sudah mencapai 200 unit. Menyebar dari perkampungan di kaki Gunung Raung hingga ke pesisir selatan Banyuwangi.

Jangan dibayangkan radio-radio lokal itu mirip studio radio yang lengkap dan kedap suara. Radio karaoke itu lebih mirip studio darurat dengan dua atau ruangan saja. Ruang karaoke pun tak seperti ruang karaoke bermerek lainnya.

Di ruangan itu hanya berisi peralatan sederhana, televisi, pengatur suara dan layar monitor untuk penyiar, serta sepasang perlengkapan mikrofon dan headset untuk penyanyi.

Studio karaokean biasanya juga menempel di rumah pemilik. Studio Radio Arif Kafilah, milik Pak Isman, misalnya, memakai bekas ruang salon anaknya dan kamar tidur, yang disulap menjadi ruang tunggu dan studio. Pak Isman juga membangun warung untuk memenuhi kebutuhan jajanan pelanggannya, seperti wedang kopi.

Karaoke radio model ini justru laris manis. Di Radio Sinar FM Pengantigan, Banyuwangi, warga terus mengalir dan antre berkaraoke. Mereka kadang menunggu berjam-jam untuk mendapatkan giliran tampil. Radio Kirana FM di Desa Aliyan bahkan beroperasi hingga 24 jam.

”Makin malam, pendengar tak berkurang, malahan tambah banyak, karena banyak yang mendengarkan radio sambil begadang,” kata Nani Suparti, pemilik Radio Kirana FM di Kecamatan Rogojampi.

Obat stres

Bagi warga Banyuwangi, karaoke sewuan seperti tombo (obat) stres dari tekanan hidup sehari-hari. Mereka bisa menyanyi sepuasnya hanya dengan membayar Rp 1.000-Rp 2.000 per lagu. Tak perlu takut suaranya sumbang. ”Wis percaya diri saja. Wong sing ono hang bijai (Orang enggak ada yang menilai),” kata Kang Husaeni, pelanggan radio karaoke.

Husaini (51), yang bekerja sebagai sales tepung terigu dan minyak goreng, hampir setiap hari memanfaatkan radio karaoke sebagai bagian dari melepas penat. Lelah mengantar tepung ke toko-toko, ia mampir berkaraoke. Ia bisa berpindah-pindah tempat, tergantung di mana ia terakhir mengantar barang.

Interaksi dengan pendengar adalah kelebihan lain dari radio karaoke. Selain mendapatkan apresiasi, para penyanyi karaoke itu tak jarang dapat kenalan dan bisnis baru. Saat ia siaran karaoke, terkadang ada pelanggan baru yang minta dikirimi tepung dan minyak goreng.

Bahkan, Fahrozi (49), pegawai simpan-pinjam sebuah koperasi di Banyuwangi, sering dapat nasabah baru. Rozi, yang bernama beken Mas Kakang, punya enam radio langganan di tiga kecamatan yang berbeda.

Tumbuhnya karaokean di radio tak lepas dari akar budaya Osing di masyarakat Banyuwangi. Dalam buku Jagat Osing; Seni, Tradisi, dan Kearifan Masyarakat Osing, Moh Syaiful mengatakan, tradisi berkesenian Osing sudah tumbuh seiring dengan keberadaan suku Osing.

Bermusik dan bernyanyi sudah menyatu dalam jiwa masyarakat Osing. Saat mengadakan upacara adat seblang, misalnya, tembang-tembang dan tetabuhan digunakan untuk mengiringi upacara mistis.

Musik juga dipakai petani untuk memberi semangat bekerja. Saat musim tanam padi, musik yang dimainkan di atas menara bambu akan berkumandang kuat. Tradisi bermusik itu tak berubah meski berganti zaman.

Di zaman penjajahan Belanda, suku Osing bahkan mengadopsi biola sebagai alat musik yang mengiringi tarian gandrung hingga kini.

Musik reggae, rock, dan dangdut koplo dipakai untuk mengiringi lagu Osing ciptaan seniman lokal banyuwangian. Lagu-lagu itu dikemas dalam kepingan VCD karaoke berharga Rp 10.000 per keping.

Apa pun bentuknya, asal bisa tetap bernyanyi, warga Banyuwangi tetap gembira. Saking gembiranya, lupa utang di rumah….


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Juli 2016, di halaman 1 dengan judul "”Hepi-hepi” sampai Lupa Utang di Rumah".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com