Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Tungku Sederhana Itu, Sem Jadikan Anak-anaknya Sarjana

Kompas.com - 29/03/2016, 19:47 WIB

Tim Redaksi

TOMOHON, KOMPAS.com — Tungku itu terletak di bagian belakang pada gubuk sederhana yang dibangun Yusuf Sem Wungow (64) di kebunnya.

Setiap hari, dia mengayuh sepeda sejauh tiga kilometer dari rumahnya di Lahendong Lingkungan 6, Kecamatan Tomohon Selatan, Sulawesi Utara (Sulut).

Walau usianya sudah senja, Sem tetap semangat menyalakan api di tungkunya setiap hari. Sebab, dari tungku itulah dia bisa berbangga dengan apa yang dicapainya.

"Kalo ndak mo kase manyala ini dodika, ndak mo dapa doi. Itu doi dari dodika ini tu kase kita pe anak-anak jadi sarjana. (Kalau tidak menyalakan api di tungku ini, tidak akan dapat uang. Uang itulah yang membiayai anak-anak saya menjadi sarjana)," cerita Sem dengan dialek Manado, Selasa (29/3/2016).

Tungku yang dimaksud adalah tungku yang dibuatnya dengan menggali tanah berbentuk segi empat berukuran setengah meter dengan kedalaman sekitar 60 sentimeter.

Di atas tungku itu, Sem meletakkan belanga berukuran besar untuk memasak air nira dari pohon aren. Air nira itu diolahnya menjadi gula aren dan gula semut.

Setiap pagi, dia harus datang ke kebunnya, memanjati pohon aren yang tingginya bisa 15-20 meter. Di atas pohon aren itu, dia kemudian menyadap nira.

Kompas.com/Ronny Adolof Buol Yusuf Sem Wungow (64), warga Tomohon, Sulawesi Utara sedang menyadap air nira dari pohon aren.

Dengan teknik tertentu, air nira yang keluar dari mayangnya ditampung di jeriken yang digantung tepat di ujung mayang yang disadap. Tampungan tetesan air nira itu kemudian dibawa turun.

Di kebunnya yang seluas 2 hektar itu terdapat seratusan pohon aren yang secara bergilir disadapnya dua kali sehari.

"Air nira ini kemudian saya masak di atas tungku itu, menjadi gula aren dan gula semut. Sekali memasak bisa mendapat 15 batok gula aren, tergantung kadar gulanya," ujar Sem.

Dia telah menekuni profesinya itu sejak lama. Bahkan, sejak berusia 15 tahun, Sem yang mantan guru STM itu sudah belajar mengolah gula aren. Tak heran, Sem sering dipanggil untuk memberi pelatihan membuat gula aren hingga ke Sumatera dan berbagai daerah lainnya.

Dia kini bahkan menjadi instruktur dan koordinator petani aren yang dikelola oleh sebuah yayasan.

"Anak saya sudah dua jadi sarjana, dan satu yang tertua kini sedang kerja di Australia. Dia seorang pelaut, dan mencoba meraih sarjananya juga," kata Sem dengan bangga.

Semua keberhasilan anak-anaknya itu dibiayai oleh Sem dari menjual gula aren dan gula semut yang dihasilkan dari tungkunya di kebun itu.

"Dulu kebun kami bukan di sini. Ketika anak yang tertua sudah berhasil, dia lalu membelikan kami lahan kebun seluas dua hektar ini. Kini kami menanam pohon aren di sini," ujar Sem.

Sekolah khusus

Pada usia senjanya itu, Sem berharap ada sekolah khusus yang mengajarkan kepada generasi sekarang untuk menjadi petani, khususnya petani penyadap aren. Sebab, di Minahasa, pohon aren tumbuh dengan subur.

Ribuan petani lain seperti Sem menggantungkan penghasilan keluarga mereka dari aren. Selain diolah menjadi gula aren dan gula semut, air nira juga diolah menjadi minuman beralkohol "Saguer" dan "Cap Tikus". Jenis terakhir adalah minuman beralkohol tinggi khas Sulut yang kadarnya bisa mencapai 50 persen.

"Kan, sayang kalau tidak ada lagi yang mau belajar, sementara kami sudah tua. Anak-anak saya semua sudah kerja, mereka memang tidak lagi berkebun seperti saya, jadi tidak tahu membuat aren. Yang tua jadi pelaut, yang kedua guru, dan yang bungsu sarjana komputer di rumah sakit," kata Sem.

Menurut dia, aren gampang tumbuh, tidak perlu ada perlakuan budidaya khusus. Mengolah air nira menjadi gula aren pun tergolong sederhana dan tidak rumit.

Sosok Sem memang menginspirasi banyak orang. Tak heran, menteri, gubernur, peneliti, stasiun TV, wisatawan, hingga penulis buku berdatangan ke gubuknya yang sederhana itu.

"Mereka tertarik dengan apa yang saya buat dan keberhasilan saya menyekolahkan anak-anak. Saya bangga, dan berharap pekerjaan ini bisa diteruskan oleh generasi berikutnya," harap Sem.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com