Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Selama Tujuh Generasi, Warga Desa Ini Berbicara dengan Bahasa Isyarat

Kompas.com - 20/11/2015, 17:29 WIB

DENPASAR, KOMPAS.com — Para turis asing yang mengunjungi Bali biasanya memilih menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi dengan warga lokal.

Selain itu, terkadang beberapa turis asing telah menguasai bahasa Indonesia dan menggunakan bahasa tersebut untuk berkomunikasi di Bali.

Karena itu, penduduk di Bali biasanya menggunakan dua bahasa itu untuk berbicara dengan turis atau wisatawan.

Namun, sebuah desa yang berada di sebuah hutan di wilayah utara Bali menggunakan bahasa unik yang lebih sulit dipahami.

Orang asing dan penduduk Bali menyebutnya "kata kolok", bahasa yang tidak pernah diucapkan.

Kata kolok dikenal sebagai "pembicaraan orang tunarungu", sebuah bahasa yang sangat unik, bahasa isyarat pedesaan, berbeda dengan bahasa isyarat internasional atau Indonesia.

Bahasa isyarat ini sudah menjadi bahasa utama yang digunakan warga Desa Bengkala yang berada di hutan utara Bali Bengkala secara turun-temurun.

Di Bali, banyak penduduk lokal menyebut Desa Bengkala sebagai "Desa Kolok" atau "Desa Tuli".

Di Bengkala, jumlah penduduk tunarungu berjumlah lebih banyak dibandingkan orang yang terlahir normal selama lebih dari tujuh generasi terakhir.

Tercatat, sekitar 3.000 orang penduduk desa mengalami tunarungu sejak lahir.

Jumlah tersebut sangatlah banyak. Sebagai perbandingan, dari 1.000 kelahiran bayi di Amerika Serikat, hanya dua hingga tiga anak yang terlahir tunarungu.

Tingginya persentase tunarungu disebabkan oleh gen resesif geografis-centric, yang disebut DFNB3, yang telah hadir di desa selama lebih dari tujuh generasi.

Selama bertahun-tahun, penduduk desa percaya tuli itu hasil dari kutukan.

 

"Cerita yang terkenal adalah bahwa dua orang dengan kekuatan sihir berperang satu sama lain dan kemudian mengutuk satu sama lain untuk menjadi tuli," kata Ida Mardana, Kepala Desa Bengkala, yang bisa berbahasa Bali, Indonesia, Inggris, dan kata kolok.

Ia mengatakan, arti dari Bengkala adalah tempat bagi seseorang untuk bersembunyi.

Di Desa Bengkala, para penduduknya sudah terbiasa dengan gaya hidup orang tunarungu. Di seluruh desa, semua warga berbicara dengan menggunakan tangan mereka.

Para orangtua di Desa Bengkala mengajari anak-anak mereka kata kolok di rumah, menanamkan benih kesetaraan yang akan tumbuh ketika anak-anak mereka dewasa.

Begitu juga di sekolahan. "Siswa tunarungu belajar bersama-sama dengan mendengar siswa di sini," kata Mardana.

"Guru berbicara sekaligus menggunakan bahasa isyarat pada saat yang sama sehingga hampir semua orang tahu kata kolok," ujarnya.

Untuk mata pencaharian, mayoritas penduduk di Desa Bengkala merupakan petani pisang, mangga, jambu, pencari rumput gajah, dan merawat beberapa sapi dan babi serta ayam.

Di pasar lokal, mereka harus menggunakan timbangan dan gerakan tangan untuk bisa menjual hasil panen mereka.

"Kadang-kadang, warga di desa ini menghadapi sedikit kesulitan berkomunikasi. Namun, mereka menyelesaikannya dengan penandatanganan sederhana," kata Kadek Sami, seorang ibu dengan dua anak yang mengalami gangguan pendengaran.

Generasi muda penyandang tunarungu di Bengkala kini mulai menggunakan ponsel pintar untuk berkomunikasi di media sosial dan bahasa isyarat internasional.

Dalam beberapa tahun terakhir, remaja-remaja tunarungu telah mendaftar di sekolah asrama tuli terdekat di Jimbaran dan belajar bahasa Indonesia.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com