Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Aki Anud, Pemahat Batu Alam Berupah Rp 12.000

Kompas.com - 19/05/2015, 13:44 WIB
Kontributor Bandung, Reni Susanti

Penulis

BANDUNG, KOMPAS.com — Jam tangan berwarna perak terlihat sangat terang membalut kulit legam yang dibalut baju lusuh yang bolong-bolong di sejumlah bagian. Dilihatnya jam tersebut. Lalu, dia membuka arloji itu dan disimpannya di atas sandal kulit yang telah lebih dulu dilepaskannya.

Lelaki itu lalu mencari posisi duduk yang nyaman untuk memulai pekerjaan. Diambilnya linggis dan digambarnya sebuah garis di atas batu. Setelah itu, ia pun menghantamkan palu ke atas linggis beberapa kali hingga batu terbelah. Ia melakukan hal yang sama berulang kali sampai batu tersebut menjadi pipih.

Ya, itulah pekerjaan Aki Anud selama puluhan tahun, menjadi perajin batu templek di kawasan Pasir Impun Atas, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Batu-batu alam yang begitu indah menghiasi rumah-rumah penduduk di Bandung dan sekitarnya, salah satunya berasal dari sini.

Namun, keindahan yang diperoleh sang pemilik rumah tidak seindah kehidupan para perajinnya. "Saya dibayar Rp 12.000 per meter. Dalam sehari, saya bisa buat 10 meteran dari pagi pukul 08.00 WIB sampai sore. Batu yang sudah dirapikan saya akan dibawa ke bagian mesin untuk dirapikan dan dibentuk. Jika sudah selesai, (batu) akan dijual ke toko material (bangunan)," ujar Aki Anud.

Jika sudah dirasa bagus, harga batu alam itu beragam, mulai Rp 150.000 per meter hingga Rp 300.000 per meter, tergantung rumitnya detail batu. Selain menjual ke toko bangunan, banyak pula masyarakat dari berbagai daerah, seperti Jakarta dan Banten, yang membeli langsung ke lokasi.

Selain gaji Rp 12.000 per meter yang dibayar setiap pekan, Aki Anud tak mendapat penghasilan lain. Namun, Aki Anud mengaku cukup bahagia karena gajinya sudah lumayan membaik. Pada 2012, Aki Anud naik gaji dari Rp 7.000 menjadi Rp 12.000 per meter. Walaupun memang, dengan harga kebutuhan pokok yang terus naik, perubahan tersebut tidak terlalu terasa.

"Cukup untuk makan mah. Soalnya sudah tidak punya anak yang sekolah. Ini mah tambah kesel weh (daripada bosan), lumayan bisa ditabung," ungkap dia.

Meski mengaku bekerja agar bisa menabung, Aki Anud tidak berani mempunyai impian ataupun cita-cita. Pada usianya sekarang, dia sudah tidak berani menginginkan apa pun karena yakin tidak akan tercapai. "Seperti naik haji, ingin mah ingin, tapi da tidak akan tercapai," kata  dia.

Saat ini, dia hanya berharap sehat dan bisa membantu keenam anaknya jika mereka mendapatkan kesulitan. Aki Anud pun mengaku sedih karena keterbatasan biaya, lima dari enam anaknya hanya bisa sekolah sampai SD. Itu pun gratis, sedangkan anak laki-laki terbesarnya hanya mampu disekolahkan hingga SMP.

Sekarang, ketiga anak laki-lakinya berprofesi sebagai sopir truk. Ada yang bekerja di Pasir Impun Bandung, ada pula yang merantau ke luar Jawa. Meski kehidupan anak-anaknya tidak jauh lebih baik, ia berharap nasib anak-anaknya mengalami perubahan.

Tak berapa lama, azan dzuhur berkumandang. Aki Anud mengambil arloji miliknya dan melihatnya. "Jam murah, tapi sangat berharga karena jam ini yang selalu mengingatkan saya akan shalat, akan Allah, dan akan kematian," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com