Di Kota Kupang misalnya, meski sudah mendapat informasi tentang larangan itu, namun para pembeli justru semakin antusias menyerbu tempat penjualan pakaian bekas atau biasa disebut pakaian “rombengan” yang dijual bebas di sejumlah pasar tradisional.
Dua orang warga Kota Kupang Lusi dan Reni ketika ditemui di tempat penjualan pakaian rombengan di Pasar Kasih Naikoten 1, Minggu (8/2/2015), mengaku tidak peduli dengan larangan tersebut karena mereka sudah puluhan tahun menjadi konsumen dan pelanggan tetap pakaian rombengan.
“Kami sudah beli pakaian rombengan ini sejak tahun 1994 sampai hari ini, tetapi belum pernah kena penyakit kulit, sehingga bagi kami tidak ada pengaruhnya larangan pemerintah bahwa pada pakaian bekas terdapat bakteri yang menyebabkan penyakit kulit. Namanya penyakit kulit pasti kita pernah idap, namun bukan semata-mata hanya dari pakaian rombengan ini,” kata Lusi yang diamini Reni.
Menurut keduanya, kenapa sejak dahulu pemerintah tidak melarang penjualan pakaian bekas, karena sebagai konsumen yang sudah lama menggunakannya tentu telah menjadi korban yang tidak diperhatikan. Alasan keduanya tetap memilih pakaian bekas hasil impor, lantaran kualitas yang bagus, harga terjangkau dan juga jenis yang beda-beda alias tidak sama.
”Kalau kita bawa uang Rp 100.000 untuk beli pakaian rombengan, kita bisa bawa pulang tiga sampai empat potong pakaian dan itupun bisa lebih banyak lagi, kalau kita pintar menawar. Coba kalau beli di toko pakaian apalagi butik, sudah mahal, banyak kembarannya pula (model yang sama),” tambah Lusi.
Sementara itu, perwakilan pedagang pakaian rombengan di Pasar Kasih Naikoten 1, Marselina Rihi, sangat kesal dengan larangan itu. Dengan nada suara meninggi, Marselina mengatakan bahwa konsumennya selama 30 tahun lebih tidak pernah mengadu kena penyakit kulit akibat memakai pakaian rombengan.
“Yang datang belanja di sini itu, berasal dari semua kalangan yakni dokter, pejabat, pengusaha, polisi, tentara dan semuanya. Jadi menurut saya kalau sampai pemerintah mau tutup usaha penjualan pakaian rombengan, maka kami pasti keberatan karena kami cari hidup melalui usaha ini. Pakaian rombengan ini juga banyak membantu masyarakat kecil sehingga mereka bisa layak memakai pakaian yang baik,” tuturnya.
“Kalau pemerintah mau tutup usaha pakaian rombengan ini, maka kami siap, tetapi tolong pemerintah harus bisa kasih makan kami setiap hari. Alasan bahwa pada pakaian rombengan ini terdapat virus atau bakteri, menurut kami itu hanya omong kosong karena itu persaingan dagang, lantaran produk dalam negeri sudah tidak laku lagi sehingga ini hanya berbau politik,” sambung Marselina.
Oleh karena itu, dia bersama para pedagang pakaian rombengan akan mengadukan hal ini ke DPRD. Mereka berharap, pemerintah NTT tidak ikut membatasi ataupun menutup usaha jual beli pakaian rombengan karena sudah banyak membantu masyarakat menengah ke bawah.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.